Oleh: Edwin Gore
Hukum tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial masyarakatnya.
Hal ini ditunjukan Marcus Tullius Cicero, filsuf Romawi (106-43 s.M
.)[1]
dalam ungkapanya yang terkenal, yaitu
ubi
societas, ibi ius[2]. Di dalam setiap
keteraturan sosial selalu ada hukum, tentu tidak mengatakan bahwa hukum yang
dimaksud adalah hanya hukum negara. Masyarakat sudah lebih dulu ada jauh
sebelum negara dan hukum negara ada atau bahkan mulai dipikirkan, dan kebutuhan
akan hukum untuk menjaga keteraturan sosial tersebut, sudah setua peradaban
manusia itu sendiri.
Bahkan dalam masyarakat yang oleh beberapa kalangan
dikategorikan sebagai masyarakat terasing, tidak lantas membuatnya “bebas” jika
dibandingkan dengan masyarakat yang lalu sebaliknya dikategorikan sebagai
masyarakat modern. Sidney Hartland menjelaskan hal ini dengan mengkritisi
pandangan J.J. Rousseau tentang masyarakat terasing dalam bukunya yang berjudul
Primitive Law:
Warga
suku terasing itu sama sekali bukan mahkluk bebas dan tidak terikat seperti
khayalan Rousseau. Sebaliknya, dari segala penjuru ia terhimpit oleh adat
kebiasaan sukunya; ia terikat oleh belenggu tradisi zaman baheula, tidak hanya
dalam hubungan-hubungan sosialnya, akan tetapi juga dalam agamanya dalam
obat-obatannya, dalam kerajinannya, seninya: pendek kata dalam setiap aspek
kehidupannya.
Masyarakat terasing terlihat tidak
sesederhana yang dianggap oleh masyarakat yang mengkategorikan diri sebagai
masyarakat yang modern. Kompleksitas yang menaungi masyarakat terasing adalah
salah satu aspek paling penting yang menyebabkan masyarakat terasing bisa
bertahan dalam lingkungan hidupnya. Anggota suku terasing tidak hanya dijadikan
model warga masyarakat yang taat kepada hukum, akan tetapi menjadi aksiomalah
bahwa dalam menaati semua peraturan dan ikatan itu ia mengikuti naluri alamiah
perasaannya yang spontan.
Selanjutnya, dikarenakan kondisi geografis, masyarakat
berkembang secara berbeda satu sama lain. Hal ini ditunjukan secara sempurna pada
kondisi masyarakat di wilayah yang saat ini disebut sebagai Indonesia. Kondisi
geografis wilayah ini yang terdiri dari pulau-pulau, membuat suatu isolasi alam
yang menghasilkan masyarakat yang sangat plural. Masyarakat ini mengembangkan
bahasa, pengetahuan, kesenian, moral, dan kepercayaan yang berbeda-beda satu
dan yang lainnya. Masyarakat tadi tentu membutuhkan keteraturan sosial dalam
hidup bersama dan oleh karenanya menetapkan hukum yang ditaati. Konsekuensi
logisnya adalah hukum yang ada di wilayah Indonesia waktu itu juga bersifat plural
antar satu dan yang lain. Bahkan sebelum tahun 1848, VOC tidak pernah
merumuskan suatu politik hukum yang sadar dan tertentu, melainkan dibiarkannya
bangsa Indonesia hidup di bawah hukum-hukumnya sendiri.
Pluralisme hukum yang berlaku di wilayah Indonesia ini dimulai jauh sebelum
konsep negara dipenetrasikan oleh pemerintah kolonial.
Thesis yang menyatakan hukum adalah hukum negara (
state law) saja, telah mulai diragukan
dengan pemaparan di atas. Hal ini diperkuat oleh Malinowski yang menyatakan
bahwa masyarakat yang bukan dalam bentuk negara atau
non state societies pun memiliki hukumnya sendiri.
Non state societies sendiri agaknya
perlu dihadapkan dengan argumen bahwa hampir tidak ada lagi masyarakat tanpa
negara atau
stateless societies.
Meskipun secara mudah argumen tersebut dapat langsung dihadapkan oleh data yang
dicatat oleh
United
Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) bahwa ada 10 juta orang di
seluruh dunia yang tidak memiliki kewarganegaraan. Selain juga munculnya
pertanyaan akan status kewarganegaraan penduduk di wilayah kasus sengketa
pengakuan negara seperti Palestina, Tibet,
dan ekses revolusi Arab Spring yang berdampak dan belum terselesaikan. Non
state societies tersebut tetap membutuhkan hukum untuk menjaga keteraturan
sosialnya, meskipun itu bukan hukum negara.
Keberadaan
Non state societies sesungguhnya bukan saja pada masyarakat yang tanpa negara
atau stateless societies, tetapi juga dalam masyarakat yang bernegara.
Individu-individu dalam sebuah negara tadi menggabungkan diri dalam sebuah societies
yang mematuhi hukumnya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan hukum negara. Hal
ini dipengaruhi oleh keinginan menjadi satu dengan manusia lain di
sekelilingnya dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam
sekelilingnya. Lalu argumen selajutnya
adalah dapat menghadapkan gagasan “hukum yang adalah hukum negara saja” pada
kondisi di mana bahkan di sebuah negara banyak ditemukan masyarakat yang
memiliki legal order di luar legal order dari negara. Brian
Tamanaha secara cukup detail menjabarkan tentang hal ini:
Legal pluralism is everywhere. There is, in every social
arena one examines, a seeming multiplicity of legal orders, from the lowest
local level to the most expansive global level. There are village, town, or
municipal laws of various types; there are state, district or regional laws of
various types; there are national, transnational and international laws of
various types. In addition to these familiar bodies of law, in many societies
there are more exotic forms of law, like customary law, indigenous law,
religious law, or law connected to distinct ethnic or cultural groups within a
society. There is also an evident increase in quasi-legal activities, from
private policing and judging, to privately run prisons, to the ongoing creation
of the new lex mercatoria, a body of transnational commercial law that is
almost entirely the product of private law-making activities.
Berdasarkan pandangan Tamanaha di
atas terlihatlah dengan jelas banyaknya legal order yang ada dalam masyarakat.
Hukum negara terlihat jelas bukan menjadi satu-satunya hukum yang ada dan
dibutuhkan masyarakat dalam memenuhi rasa keadilannya.
Tentu jika dihadapkan dengan pandangan positivisme hukum,
perbedaan akan banyak sekali ditemui bahkan sejak semula mendefinisikan apa itu
hukum. John Austin (1790-1859), yang dipandang sebagai pendiri dari aliran
positivisme hukum
,
mengatakan bahwa, “
laws proper or
properly so called, are commands: laws which are not commands, are laws
improper or improperly so called.”
Hukum hanya dipandang sebagai perintah penguasa. Penguasalah yang berhak
menetapkan hukum apa yang berlaku mengikat suatu masyarakat. Di luar hukum
perintah penguasa tersebut bukanlah merupakan hukum. Hukum-hukum yang
disebutkan oleh Tamanaha di atas, bagi Austin secara mudah dikatakan adalah bukan
merupakan hukum.
Hukum negara dan hukum perintah penguasa ini memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitannya ada di aspek formalitasnya. Semua
yang disebut hukum harus melewati proses birokrasi kekuasaan, sehingga
pendekatan hukum didekati dengan kaca mata sangat formal.
Proses birokrasi penyelenggaraan negara diserahkan pada penguasa yang dianggap
telah diberikan kekuasaan untuk memerintah, menetapkan hukum, dan mengadili yang
oleh Montesquieu kekuasaan penyelenggaraan negara tersebut harus dibagi dalam
teori
Trias Politica
(eksekutif, legislatif, dan yudisiil), dikarenakan kekuasaan penguasa dalam
menyelenggarakan negara sangatlah rawan untuk disalahgunakan. Selanjutnya
hubungan antara 3 pemilik kekuasaan tadi memerlukan birokrasi dalam berhubungan
satu dan yang lainnya dalam cakupan formal kelembagaan negara. Aspek formalitas
di sini sangat kuat dan menjadi pembeda utama antara hukum dan bukan hukum. Konsekuensinya,
apabila aturan itu tumbuh dan berkembang tetapi tidak diimplementasikan oleh suatu
kekuasaan yang bersifat “formal”, aturan itu tidak dapat disebut hukum.
Termasuk bahwa hukum yang berlaku di wilayah Indonesia sebelum pemerintah
kolonial masuk ke Indonesia adalah bukan hukum.
Hukum akhirnya menjadi formalistis.
Aspek formalitas hukum dari Austin ini tidak menyebutkan
apakah hukum itu baik atau buruk. Jadi hukum dipisahkan secara tegas dari
keadilan hukum dan hukum tidak didasarkan atas cita yang baik dan buruk
melainkan atas kekuasaan dari pada penguasa yang lebih tinggi.
Pengesampingan aspek baik dan buruk dalam pandangan positivisme hukum Austin
langsung terlihat akibatnya pada masa-masa Perang Dunia ke-2. Awalnya ditandai
dengan paham ultranasionalisme dan totalitarian rezim diktator gaya baru yang mulai
bermunculan pada bangsa-bangsa di Eropa. Hitler berkuasa di Jerman, Mussolini
di Italia, Stalin di Uni Soviet, dan juga mulai menyentuh benua Asia seperti di
Jepang. Rezim totaliter gaya baru ini, oleh Mckay, Hill, dan Buckler dikatakan
bahwa, “
The modern totalitarian state
differed from the old-fashioned authoritarian state. Completely rejecting
liberal values and drawing on the experience of total war, the totalitarian state
exercised much greater control over the masses, and mobilized them for constant
action.”
Mengambil contoh di Jerman, setelah Nazi menjadi partai
pemenang pemilu dengan perolehan 14,5 juta suara pada tahun 1932
dan Hitler dipilih sebagai Kanselir oleh Presiden Hindenburg pada tahun 1933
,
dimulailah proses penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan. Pemerintah Jerman
waktu itu, mengeluarkan peraturan-peraturan hukum dalam bayang-bayang kekuasaan
Hitler dan Nazi.
Dictatorial Emergency
Acts menghapuskan kemerdekaan berbicara, berkumpul, dan banyak kemerdekaan
individu lainnya.
Pada 23 Maret 1933, Nazi berhasil mendesak
Reichstag
untuk mengeluarkan Enabling Act yang memungkinkan Hitler memperoleh kekuasaan
diktatorial selama 4 tahun.
Lewat undang-undang ini, Hitler berhak membubarkan dan mengontrol segala bentuk
organisasi independen di seluruh Jerman. Lewat
Nuremberg Law for the Protection of German Blood and German Honor yang
dikeluarkan pada 15 September 1935
,
negara mengatur tentang pemurnian darah dan kehormatan Negara Jerman.
Undang-undang ini melarang perkawinan antara orang yang memliki darah Jerman
yang murni dengan orang Yahudi. Juga dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini
menyebutkan bahwa,
Jews are forbidden to
fly the Reich or National flag or to display the Reich colors.
Yang selanjutnya oleh Ian Kershaw dikatakan bahwa Hitler akan mengambil alih "
Jewish problem" ini di bawah hukum
Nazi dalam “
A Final Solution” untuk
bangsa Yahudi.
A Final Solution atau
Endlösung menjadi penghalusan makna dari usaha
pemusnahan masal dari bangsa Yahudi.
Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah Jerman waktu
itu jika menurut pandangan positivisme Austin adalah sah sebagai hukum karena
secara formal dan positif hukum itu sudah memenuhi. Apakah karena hukum positif
tersebut menyebabkan pemusnahan terstruktur
besar-besaran atas suatu bangsa dalam sepanjang sejarah manusia, adalah bukan
menjadi soal dalam pandangan positivisme Austin. Tentu hal ini menimbulkan
kritik yang cukup serius atas pandangan positivisme Austin. Hukum bukan hanya
terikat pada aspek formal saja, tetapi terdapat suatu aspek lain juga, yang menurut
Hart, dapat disebut aspek intern
.
Bahkan aspek intern dalam hukum lebih penting dari aspek formalnya. Hukum yang
sah secara formal dan melalui proses-proses birokrasi yang formal juga, tetapi
melegalkan kejahatan kemanusian terstruktur, apakah harus tetap ditaati?
Ditambah lagi menurut pandangan Hans Kelsen yang juga seorang positivis, mengatakan
bahwa ciri hukum adalah sebagai tatanan pemaksa
,
yang lebih lanjut memaksa seseorang untuk melakukan kejahatan kemanusian,
apakah juga harus tetap ditaati?
Meskipun oleh Hart, hal ini dibantah dengan menyatakan bahwa
isi hukum positif harus diturunkan dari prinsip-prinsip moral dan keadilan
,
tetapi ia tidak dapat keluar dari belenggu positivisme karena ia tetap
berpegang pada pendirian bahwa hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat secara
formal dan dilengkapi dengan sanksi.
Secara konsekuen Hart membela bahwa tata hukum Nazi Jerman memang berlaku
sebagai hukum, walaupun tidak boleh ditaati karena tidak cocok dengan
prinsip-prinsip moral.
Tentu pandangan Hart ini masih menyisahkan persoalan terminologi antara berlaku
sebagai hukum dan tidak boleh ditaati. Hal yang patut dikritisi di sini adalah bahwa
aturan yang berlaku sebagai hukum memiliki aspek ketaatan di dalamnya, karena
jika ada aturan hukum yang tidak memiliki kewajiban untuk ditaati, maka hal itu
tidak berlaku sebagai hukum.
Hart tidak menjawab mengapa masyarakat taat hukum, tetapi
hanya menjawab bagaimana masyarakat taat hukum.
Meskipun Joshep Raz tidak menyetujui pandangan Hart bahwa hukum harus sesuai
dengan prinsip-prinsip moral
,
senada dengan Hart, Raz mengatakan bahwa
the
rule of recognition is better seen as a fact than as a rule.
Secara umum pandangan positivisme hukum tidak
menyangkal bahwa aturan-aturan hukum yang dibuat oleh Nazi Jerman adalah
sah, karena ia telah melalui proses formal yang sah sebagai hukum positif
negara sebagai satu-satunya hukum yang berlaku, meskipun tidak sesuai prinsip
kemanusiaan dan keadilan.
Keraguan atas argumentasi hukum adalah hanya hukum positif negara
seperti pandangan positivisme hukum di atas dapat dikaji lebih jauh dengan
melihat posisinya dengan hukum internasional. Pandangan Austin yang mendaraskan
adanya hukum pada badan yang memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk memaksakan
berlakunya hukum kepada pihak yang dikuasainya,
sudah banyak ditinggalkan oleh ahli-ahli hukum internasional.
Badan yang memiliki kekuasaan untuk memberlakukan hukum ini disebut badan supra
nasional. Hukum dalam pengertian ini merupakan penyangkalan atas eksistensi
hukum yang berasal atau tumbuh dalam pergaulan hidup masyarakat, seperti
misalnya hukum kebiasaan
(customary law).
Menurut Mochtar Kusumaatmadja semua kelemahan kelembagaan
(institusional) ini telah menyebabkan beberapa pemikir mulai dari Hobbes dan
Spinoza hingga Austin menyangkal sifat mengikat hukum internasional, dan
menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum dalam arti sebenarnya.
Tentu pernyataan tadi yang juga sudah lama tidak memiliki tempat di dalam
perkembangan hukum internasional, tetapi yang lebih penting adalah bahwa hukum
internasional adalah hukum yang sangat penting dan di taati oleh negara
berdaulat. Negara berdaulat yang sekarang bahkan bukan satu-satunya subjek
hukum internasional, tetap memiliki hukum berdaulatnya sendiri-sendiri yang
mengikat, tetapi di lain sisi patuh juga pada hukum
international. Pengakuan dan patuhnya negara
akan hukum internasional seperti ini tentu tidak bisa terjadi jika hukum
internasional itu hanya memiliki kekuatan mengikat seperti norma internasional
saja.
Hal ini terlihat bahwa dalam skala yang lebih global, pluralisme hukum adalah
suatu keniscayaan. Dengan kerangka berpikir yang sama tetapi dalam skala yang
lebih kecil, pluralisme hukum juga adalah keniscayaan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat mencakup juga masyarakat dalam sebuah
negara, perkembangan masyarakat menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Menurut Ankie
M. Hoogvelt seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto mengatakan bahwa tidak
ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap masyarakat
mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat.
Aspek utama yang mempengaruhi perubahan dalam masyarakat adalah interaksi
sosial dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial.
Lebih lanjut Soerjono menjelaskan bahwa interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara
orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun atara orang
perorangan dengan kelompok manusia.
Dikarenakan masyarakat terus melakukan interaksi sosial, maka kemungkinan terus
terjadinya perkembangan masyarakat juga semakin besar.
Pada era
post-modern
ini, perkembangan masyarakat akibat interaksi sosial menuju ke arah seragam
menjadi hal yang sangat sulit terjadi.
Kemungkinan untuk menuju ke keseragaman selalu ada.
Tetapi dikarenakan proses interaksi sosial saat ini tak bisa dibendung
kecepatan, cakupan, dan keberagamannya, membuat homogenitas agaknya sulit
tercapai, meskipun sekali lagi bahwa kemungkinan itu tetap ada. Homogenitas ini
oleh penganut
post-modern yang
memberikan pengaruh kuat pada mazhab
critical
legal studies, dibantah habis-habisan dengan memberikan thesis bahwa perbedaan
merupakan inti dari segala kebenaran.
Meskipun mazhab ini masih menyisakan problematika, tetapi critical legal
studies ingin mengatakan bahwa pluralitas adalah suatu kenyataan dan lebih
dalam lagi pluralisme hukum akhirnya menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat
dihindari.
Semakin plural suatu
masyarakat, berakibat pada semakin plural permasalahan hukum yang dihadapi, dan
semakin tinggi juga kebutuhan akan hukum untuk menyelesaikan masalah yang
plural tersebut. Perkembangan masyarakat ini menyebabkan terjadinya jarak atau gap dengan negara yang tidak bisa
dihindari. Untuk itu seperti yang diargumentasikan oleh Moore yang dikutip oleh
John Griffiths, dikatakan bahwa the
social space between the state and a subject is not a normative vacuum, but it
is full of social institutions with their own regulation. Lalu oleh Joeni Arianto dikatakan bahwa, gap
ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, disebabkan oleh karena suatu produk hukum
positif telah “ketinggalan jaman”.
Terjadinya kondisi di mana semula hukum positif yang mengakomodir nilai-nilai
yang hidup di masyarakat, lalu karena perkembangan zaman, hukum positif
tersebut tidak lagi mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Kedua, memang sejak dari awal proses pembentukan hukum positif yang ada tidak
memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Derajat perkembangan ini semakin
meningkat kuat terlebih pada masyarakat yang memang sudah plural sejak semula.
Seperti sudah disebut sebelumnya, Indonesia sekali lagi dapat digunakan sebagai
contoh yang sangat baik dalam melihat hal ini.
Soehino,
Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta,
1990, h.41
Bronislaw Malinoswski,
Crime and Custom
in Savage Society, Routledge and Kegan Paul Ltd, England, 1951, terjemahan
R.G. Soekadijo,
Tertib Hukum dalam
Masyarakat Terasing, Jakarta, 1988.
h. 4
Soepomo,
Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, h.4
Joeni Arianto Kurniawan,
Legal Pluralism
in Industrialized Indonesia: A Case Study on Land Conflict between Adat People,
the Government, and Corporation Regarding to Industrialization in Middle Java. ,
VDM Verlag Dr. Müller, Saarbrücken, 2010, h.28
Pengakuan sebagai sebuah negara masih terus diperjuangkan di dunia
Internasional. Beberapa kalangan masih menyebutnya dengan nama belligerent
karena enggan dengan penggunaan istilah negara.
Soerjono Soekanto,
Sosiologi Suatu
Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.124
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pernada
Media Group,
Jakarta. 2009.
h. 5
Theo Huijbers
, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius
. Yogyakarta,1982
. h. 87
.
Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum Barat pada waktu itu
yang melihat masyarakat di luar Eropa adalah masyarakat yang tidak beradab baik
dari teknologi sampai pada aspek perkembangan hukum.
Rudy T. Erwin
, Tanya Jawab Filsafat Hukum,
Rineka Cipta, Jakarta,
19
90
. h. 37
Jhon P. Mckay, Bennet D. Hill, and John Buckler,
A History of Western Society Second Edition: From the Reformation to
the Present, Houghton Mifflin Company, Boston, Massachusetts, 1983. h. 1024
Ilona Dvořakova, Kristyna Homolova, Jan Jachim, Monika Stehlikova,and
Aleš Turnovec,
Classmates: the pates of jewish students who attended our school,
gymnasium, mikulasske namesti, pilsen, Bily Slon, Plzeň, 2008. h. 11.
Ian Kershaw,
Hitler 1889-1936: Hubris, Allen Lane: The Penguin Press, London, 1998. h. 570
Michael Berenbaum,
The world must know: the history of the
Holocaust as told in the United States Holocaust Memorial Museum, United States Holocaust Memorial
Museum, USA, 2005. h. 103.
Hans Kelsen,
Pure Legal Theory,
Berkeley University of California Press, USA, 1978, terjemahan Raisul
Muttaqien,
Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar
Ilmu Normatif, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2014.
h. 37
Dina Sunyowati, Enny Narwati, dan Lina Hastuti,
Buku Ajar Hukum Internasonal, Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair, Surabaya, 2011. h. 20
Soerjono Soekanto
, Op.Cit., h. 343
Munir Fuady,
Filsafat dan Teori Hukum
Postmodern, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. h.3