(Tulisan dimuat dalam buletin MAHONI-LPM Nawaksara FH Unair edisi September 2012)
“...seorang editor sebuah media, mengomentari sebuah
kontes kecantikan secara sangat tidak biasa. Tidak biasanya adalah ia
mengomentari kontes kecantikan tersebut dengan lelucon sarkasme yang
mengumpamakan Nabi Muhamad pasti akan menikahi salah seorang dari kontestan
jika beliau masih hidup. Tak lama berselang, kelompok umat Islam menyerang
kelompok umat Kristiani yang merasa terprovokasi dengan lelucon Nabi Muhamad
tersebut yang dianggap telah melecehkan agamanya.”(Nigeria)
“...siaran sebuah radio terus mengabarkan
provokasi-provokasi yang sangat tidak biasa. Radio tersebut menyebarkan
provokasi-provokasi membakar amarah yang ditujukan kepada suku Uttu. Tidak
biasanya adalah provokasi tersebut berisi siaran-siaran yang mempengaruhi agar
suku Uttu menyerang suku Tutsy yang dianggap lebih rendah dari suku Uttu. Tak
membutuhkan waktu lama untuk terjadinya pengungsian besar-besaran dari negara
tersebut yang sampai menyita perhatian dunia. Mereka masih beruntung karena
tidak menjadi korban pembantaian masal yang dialami oleh suku Tutsy yang
lain.”(Rwanda)
“...saut-bersautan dari tulisan dua kelompok wartawan
ini sangat tidak biasa. Kelompok wartawan pertama menganggap dirinya penyebar kebenaran
untuk si-Kristen dan sebaliknya kelompok
wartawan kedua menganggap dirinya sebagai penyebar kebenaran untuk si-Islam. Yang tidak biasa
adalah keduanya saling mengabarkan berita yang agak didramatisasi dan
seringkali tidak berdasarkan fakta tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi
atau mungkin terjadi dengan tidak jelasnya duduk persoalannya antara dua
kelompok agama ini. Tak pelak hanya dalam hitungan minggu, terjadi peristiwa
kemanusiaan berdarah yang telah merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa di antara
kedua belah pihak yang saling bertikai ini. Bahkan sampai sekarang bekas-bekas
ketegangannya masih menyelimuti pulau ini.” (Ambon, Indonesia)
M
|
edia masa adalah kebenaran semu pertama yang diterima
oleh masyrakat. Namanya adalah kebenaran semu, kebenaran ini belum menjadi
kebenaran yang hakiki atau kebenaran yang sesungguhnya. Inilah yang sering kali
langsung dipercayai oleh para penggunanya bahwa kebenaran semu langsung menjadi
kebenaran yang dianggap sesungguhnya tanpa ada proses penyaringan lebih dahulu.
Akibatnya, informasi yang sudah dianggap benar ini menjadi pemicu seseorang
untuk salah bertindak dan mengambil sikap. Jika kebenaran semu tersebut adalah
tidak terbukti, bohong, atau fiktif (dan seringkali terjadi demikian), bisa di
bayangkan akibatnya. Apalagi bila di dalamnya dimuati unsur-unsur agamis yang
mengandung iman dan kepercayaan. Tampaknya peristiwa-peristiwa berdarah seperti
di Nigeria dan yang terdekat, di Ambon, bukanlah merupakan sesuatu yang salah
karena ada legitimasi agamanya di dalamnya.
Inilah yang mendasari Serikat Jurnalis untuk Kebebasan
Beragama, untuk membuat suatu langkah pencegahan. Dengan sasaran lembaga pers
mahasiswa di universitas di seluruh Indonesia, SEJUK (Serikat Jurnalis untuk
Kebebasan Beragama) berusaha mengkampanyekan tentang pentingnya peranan pers
untuk mencegah peristiwa-peristiwa yang menyangkut kebebasan beragama, seperti
Ahmadiyah dan Ambon terulang kembali. Lewat acara diskusi Intolerance in the
Media di Universitas Sebelas Maret dan workshop A Guidance on Reporting
Diversity Issues di Sahid Jaya Hotel, Solo pada tanggal 24-27 November 2011,
SEJUK berupaya untuk menanamkan pada pers mahasiswa, termasuk LPM Nawaksara FH UA yang menjadi salah satu peserta, yang notabene masih bersih
dari intervensi kekuasaan dan materi, semangat jurnalisme damai dan bukan
jurnalisme ramai yang tetap menjunjung independensi, berimbang, dan tajam.
Hierarki Gender dalam Media: antara Agensi dan
Komoditas oleh Dewi Candraningrum
Mbak Dewi memulai materi pertama dengan sebuah
pertanyaan yaitu ada berapa sih gender yang ada di dunia itu? Sebuah pertanyaan
yang simpel, tetapi kadang tidak mudah untuk kita jawab. Mbak Dewi kemudian
menerangkan bahwa sebenarnya gender sendiri pada umumnya terdiri dari laki-laki
dan perempuan. Tetapi ada kalanya kita menemui dalam kehidupan sehari seseorang
yang tidak bisa diklasifikasikan dalam kedua gender di atas, yaitu sering
disebut dengan kaum LGBT (Lebian, Gay, Biseksual, dan Transeksual). Di manakah
mereka akan digolongkan? Mereka digolongkan dalam gender minoritas, yaitu bukan
termasuk dari kedua gender mayoritas di atas.
Lalu apakah yang dimaksud dengan gender itu sendiri?
Apakah gender sama dengan alat kelamin? Jika berbeda, apakah bedanya? Perempuan
yang menempuh S2 dan S3 di Monash University Australia dan Universitaet
Muenster Jerman ini menerangkan bahwa gender berbeda dengan alat kelamin.
Gender adalah terkait dengan perilaku dan budaya, tetapi alat kelamin adalah
terkait dengan bentuk fisik dan keadaan biologis. Keadaan biologis seorang
perempuan contohnya adalah memiliki rahim sehingga dapat melahirkan. Berbeda
dengan alat kelamin yang merupakan batasan yang dianugerahkan Tuhan, perilaku
dibentuk dari pola kehidupan sejak kecil, contohnya lelaki itu tidak boleh
menangis dan perempuan itu harus memakai rok.
Tetapi apakah seorang lelaki tidak boleh menangis dan
perempuan tidak boleh memakai celana? Jawabannya adalah boleh.
Kaharusan-keharusan ini hanya akan menyebabkan kekerasan baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam kehidupan berkeluarga. Bayangkan, seorang perempuan
yang katanya sesuai kodrat dan gender, yaitu adalah tipe lemah dan harus
dilindungi setiap saat oleh laki-laki, setiap hari merengek-rengek pada sang
suami jika ia sudah berumahtangga. Dan apa yang akan terjadi jika suaminya yang
sesuai kodrat dan gendernya sedikit bicara dan menjaga terus kewibaannya
menghadapi seorang istri yang merengek-rengek tersebut? Mbak Dewi melanjutkan,
pukulan yang melayang dari suami kepada istri adalah akibatnya.
Memang yang demikian seringkali dianggap sebuah
kewajaran. Karena jika seorang lelaki menangis dianggap dia itu banci dan
wanita yang memakai celana adalah tomboy yang keduanya dianggap tidak sesuai
kodratnya. Kalau kita berpikir demikian kita telah melakukan Stereotipi/Bias-gender/Seksis
terhadap lelaki atau perempuan tersebut. Ia menerangkan, bahwa inilah yang
sering terjadi di media masa-media masa dewasa ini, muali dari yang paling
kecil skalanya sampai media masa yang berskala nasional. Lelaki atau perempuan
kerap dijadikan objek kekerasan, baik kekerasan fisik, estetik, verbal,
epistimologis, stereotipi, dan sebagainya. Dan hal inilah yang harus diperbaiki
dari pers-pers dewasa ini, termasuk oleh pers mahasiswa.
Media dan Agama oleh Tantowi Anwari
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia tengah dalam
keadaan sakit sosial yang parah. Tingkat kebencian sosial masyarakat Indonesia
menurut beberapa peneliti telah menunjukkan ambang yang mengkhawatirkan.
Frekuensi tawuran antar pelajar semakin taun menjadi semakin sering. Tingkat
ignoritas dari para penyelenggara negara juga semakin memberanikan masyarakat
untuk bertindak out of the law. Pembiaran-pembiaran oleh polisi salah satunya,
menurut Sidney Jones, merupakan lampu hijau untuk memberanikan kaum-kaum
pelanggar hukum untuk melakukan langkah yang lebih berani.
Begitu pula para kaum radikal yang mengklaim dengan
agama-agama tertentu. Nampaknya ada kecenderungan untuk membiarkan dan bahkan
sedikit mendukung atas aksi-aksi di luar hukum ini, oleh pejabat penegak hukum.
“Lihat saja kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik oleh orang-orang
yang mengklaim dirinya Islam!” ujar Alumnus IAIN ini. “Polisi sebenarnya sudah
jauh-jauh hari mengetahui atas perencanaan penyerangan itu, tetapi sekali lagi
mereka diam.” lanjutnya. Dan terangnya lagi, “Jangan kaget jika tingkat
radikalisasi masyarakat Indonesia akan semakin parah dan mengkhawatirkan.
Bahkan pemberitaan media masa atas hal ini sangatlah berat sebelah. “Menurut
beberapa media cetak maupun televisi, disebutkan bahwa terjadi bentrokan antara
warga dan jemaat Ahmadiyah, padal bukan bentrokan tetapi penyerangan!”
Bibit-bibit radikalisme dan kebencian atas perbedaan
tersebut tambah diperparah oleh selebaran-selebaran radikal yang biasanya
dibagikan pada waktu solat Jumat di masjid-masjid. “isinya bisa dibilang adalah
sampah yang harus dibuang ke keranjang sampah. Selebaran itu bukannya berisi
semangat perdamain malah semangat perang dan kebencian.” ujar pria yang bekerja
di Lembaga Studi dan Filsafat tersebut. Bentuk dari media-media tersebut sudah
pula sangat beragam. Mulai dari Website, Blog, video di You Tube, dan lain
sebagainya. “Ada sekitar 6 lebih web atau blog yang perlu dikhawatirkan karena
menyebarkan berita-berita yang tidak berimbang dan menimbulkan semangat radikal
ini.” terangnya. Media-media itu antara lain adalah Sabili, Suara Islam, Voice
of Al-Islam, Arahmah, Era Muslim, dan masih banyak lagi.
Apakah pembredelan merupakan jawaban? Tidak, mereka
berhak dan sangat boleh untuk berbicara apapun tentang apapun. “Kita tidak
dapat mengurangi dengan sedikitpun kebebasan mereka,” tambah mbak Dwi, “mereka
sama sekali tidak menganggap manusia orang lain, mengapa kita melakukan hal
yang sama?” Terangnya lagi, “dengan tidak memberikan kebebasan berpendapat
mereka, kita sebenarnya telah melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan
mereka.” Ungkapnya pula bahwa suatu saat pembaca akan sadar bahwa membaca blog
sampah seperti itu akan tidak bermanfaat dibanding membaca media-media objektif
lain yang memang menyuguhkan informasi yang baik.
Media dan Keberagaman oleh Muchlis A. Rofik
Menurut hasil survey Lembaga Survei Indonesia,
tertanggal Juni 2011, 90 persen penduduk Indonesia menyatakan kepercayaan
kepada Tuhan sebagai hal penting. Lalu 60 persen lagi menekankan pentingnya sebagai
muslim dan 47 persen lagi mendahulukan status muslim daripada status orang
Indonesia. Dan yang lebih mengejutkan lagi dari hasil survei oleh PPIM, 14,7
persen orang bersedia merusak gereja yang tidak memiliki ijin. Bersedia
mengusir Ahmadiyah sebesar 28,7 persen, merajam orang berzinah sebesar 23,2
persen, perang melawan non-muslim yang mengancam sebesar 43,5 persen, menyerang
tempat yang menjual miras sebesar 38,4 persen, mengancam orang yang menghina
Islam 40,7 persen, dan sebesar 23,1 persen bersedia untuk jihad di Ambon dan
Poso. Menurut data-data tersebut terang sudah bibit-bibit radikalisme telah
mulai tumbuh subur di Indonesia
Bagaimanakah peran kita sebagai jurnalis dalam
menghadapi hal tersebut? Menurut Mas Muchlis A. Rofik yang adalah Produser
Eksekutif Liputan ANTV, kualitas para jurnalis dalam membuat berita-berita
tentang isu-isu keagamaan sangat kurang sekali. “Pernah saya dimarahi
habis-habisan oleh Nurcholis Majid tentang parahnya pengetahuan agama wartawan
yang saya tugaskan untuk mewawancarai beliau.” tambah beliau. Ia juga
menerangkan bahwa wartawan yang tidak berbekal pengetahauan agama yang cukup
baik, malah akan memperkeruh permasalahan dengan pemberitaan yang salah. “Jadi
memang pendalaman pengetahuan agama para jurnalis harus benar-benar diasah
betul.”
Ia juga menjelaskan bahwa sekarang kita tengah dalam
masa-masa perang media. Usama bin Laden mengatakan “Telah jelas bahwa perang
media masa adalah salah satu metode perang terkuat, faktanya perang mediamasa
mencakup 90 persen perang langsung.” Dan Ayman al-Zawahiri mengatakan bahwa
lebih dari setengah bagian dari perang langsung tercakup perang media masa,
kita ada di era perang media masa yang masuk dalam hati dan pikiran umat.
Begitu berbahayanya media masa yang bisa dianggap sebagai pisau bermata dua,
yang pada satu sisi bisa mensejahterakan manusia, di lain sisi bisa
menyengsarakan manusia. Dan kita sebagai jurnalis harus pada tahap siap
berperang dalam medan pertarungan ini. (Edwin Gore)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar