(Tulisan Dinding Berseri dalam Catatan Seorang Mahasiswa, dipublikasikan di FH Unair pada bulan Oktober 2010)
Dalam lembaran sejarah hampir semua yang
ditulis adalah tentang pengkhianatan, kecurangan, kebohongan, dan kejahatan
yang dilakoni oleh manusia dari awal peradaban sampai era di mana dunia nyaris
tanpa batas ini. Seakan-akan tanpa itu semua sejarah tak akan tercipta. Tetapi dalam
kelamnya pena sejarah ini, terbersit secercah tinta emas pengharapan yang
ditorehkan oleh segelintir manusia minoritas yang secara radikal menolak
kebiadaban ini semua. Segelintir manusia yang secara jujur menyatakan benar
sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan.
Mereka jugalah yang pertama kali melangkah ke depan saat semuanya masih
sibuk berperang dengan nasib dan keputusasaan. Mereka inilah yang membuat arti perubahan jelas di tengah samarnya harapan.
Mereka adalah kita, para pemuda.
Pemuda
dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia telah menunjukan perannya sebagai “men
of thought”. Pentingnya peran pemuda dalam perjalanan bangsa dimulai dari masa
pergerakan nasional yang dipelopori oleh Budi Utomo dan berbagai organisasi-organisasi
kepemudaan lain. Ditengah-tengah perlawanan bersenjata terhadap Belanda waktu
itu, para pemuda telah menyadari arti penting dari kesatuan arah perjuangan dan
kesamaan cita-cita. Mereka beranggapan bahwa dengan hanya pucuk senapan dan
perlawanan parsial kedaerahan tak cukup untuk melawan penjajah. Jauh daripada
itu diperlukan suatu penyelarasan berbagai gerakan kedaerahan menjadi satu
gerakan nasional yang utuh. Sangat revolusioner untuk pemikiran di jamannya,
bukan lagi membawa nama pemuda Sumatra ataupun pemuda Jawa dan lain sebagainya,
para pemuda menyatukan diri menjadi sebuah identitas baru dalam sejarah bangsa,
yaitu sebagai bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pun tak lepas
dari peran golongan muda di dalamnya. Melalui peristiwa Rengasdengklok jelaslah
digambarkan jika pemuda tidak mengambil peran dapat dipastikan penjajahan akan
lebih lama bercokol di Indonesia.
Setelah
cita-cita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat secara formalitas bisa
dibilang terwujud, tetapi tidak begitu dalam realisasinya. Dalam perkembangan
perjalanan setelah masa revolusi, penyimpangan malah dilakukan oleh para
pendiri bangsa. Lebih mengutamakan kedaulatan politik, Soekarno malah melupakan
kesejahteraan ekonomi yang merupakan kebutuhan hakiki manusia. Karena jika
rakyat melarat dan melarat identik dengan kebodohan maka rakyat akan melakukan
gerakan sendiri-sendiri yang sarat akan penyimpangan dan bahkan menjurus pada
perpecahan bangsa. Terlebih diperparah lagi oleh kebijakan Demorasi Terpimpin
ala Soekarno yang menyelubungkan kediktatoran dalam demokrasi yang semakin
menekan kebebasan berdemokrasi rakyat. Dan mencapai klimaks kekacauan negara dalam
peristiwa berdarah 30 September. Pemuda langsung bereaksi atas kondisi negara
yang semakin carut marut ini. Terbukti dengan tergabungnya
organisasi-organisasi masa dalam kampus seperti Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia,
dan sebagainya dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, turun ke jalan dengan
tiga tuntutan (Tritura).
Akhirnya
pada tanggal 1 Maret 1966 rezim Orde Lama tumbang selanjutnya berganti oleh
Orde Baru dan perlu diingat, mahasiswa memiliki andil dalam runtuhnya pemerintahan
Soekarno ini. Selubung kesejahteraan ekonomi yang digadang-gadang oleh
pemerintahan Soeharto terbukti busuk di dalam. Kebebasan berpendapat dipotong
oleh pemerintah. Penangkapan-penangkapan oleh aparat penegak hukum tanpa adanya
transparansi dan kejelasan proses peradilan adalah hal yang biasa. Pemilu yang
hanya menjadi formalitas belaka dan bahkan sebagai alat legalitas kekuasaan
Soeharto. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melembaga. Dan berbagai
pelanggaran HAM berat seperti kasus pembantaian 80.000 nyawa manusia (dalam
perkiraan paling konservatif) di pulau Bali yang dituduh sebagai masa Partai
Komunis Indonesia, perkosaan-perkosaan bagi mereka yang dituduh Gerwani, dan
penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan dengan cara-cara yang tak masuk akal
dikalangan manusia waras atau yang menyebut dirinya berTuhan. Setelah 32 tahun berkuasa,
akhirnya rezim Orde Baru runtuh dan sekali lagi di tangan mahasiswa Indonesia.
Begitu
besarnya pengaruh mahasiswa atau pun pemuda dalam menentukan arah perjalanan
bangsa dan negara ini membuat tugas yang dibebankan di atas pundak kita menjadi
lebih berat. Tak perlu lagi menunggu peristiwa seperti yang terjadi di angkatan
’66 ataupun angkatan ’98. Apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa sekarang
adalah berkata dan bertindak sesuai dengan kebenaran. Aksi turun ke jalan
adalah salah satu cara di antara jutaan cara untuk memajukan negeri ini.
Menulis, berdiskusi, menyoroti, dan yang paling penting adalah kompeten dalam
masing-masing bidang keilmuan kita merupakan langkah yang paling nyata yang
dapat kita lakukan. Kesampingkanlah masalah-masalah ras, golongan, ormek, dan
kepentingan politik yang hanya menghambat langkah kita menuju arah kemajuan.
Bukankah dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober kita meleburkan semuanya itu dalam
identitas baru sebagai bangsa Indonesia.
Dalam
sebuah buku yang berjudul 5 cm disebutkan bahwa harta yang
paling berharga dari pemuda adalah idealisme.
Hanya idealismelah yang mampu merubah cacatan kelam sejarah menjadi lebih
baik. Jangan sampai idealisme kita luntur oleh praktek-praktek korupsi,
pemakluman-pemkluman tindak kecurangan, pandangan tentang kenyamanan dalam
posisi aman (main save), birokrasi,
dan kebohongan-kebohongan. Apalah yang lebih puitis daripada berbicara tentang
kebenaran? Dan Soe Hok Gie pernah berkata, “lebih baik diasingkan daripada
menyerah pada kemunafikan..” Hidup mahasiswa!! (Edwin Gore)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar