(Tulisan Dinding Berseri dalam Catatan Seorang Mahasiswa, dipublikasikan di FH Unair pada bulan Oktober 2010)
Akhir-akhir ini pemberitaan media di
seluruh dunia disuguhkan peristiwa penyelamatan heroik 33 penambang Cile yang
terjebak di kedalaman 700 meter di bawah tanah selama 69 hari yang berakhir
pada Rabu, 13 Oktober 2010. Yang paling mengharukan lagi Presiden Cile
Sebastian Pinera rela begadang selama 3 hari 3 malam menunggui langsung proses
penyelamatan tersebut. Pinera yang hanya berpakaian seperti rakyat kebanyakan,
tanpa protokoler, dan juga tanpa pengawalan dari pasukan pengawal presiden,
langsung memeluk para penambang yang berhasil ditarik keluar. Setelah ke-33
penambang berhasil diselamatkan, tak pelak keharuan dan semangat kebangsaan
rakyat Cile yang langsung menyaksikan drama penyelamatan itu meledak.
Didampingi langsung oleh presiden yang dilantik pada 11 Maret 2010 ini, rakyat menyanyikan
lagu kebangsaan.
Tetapi paradoks terjadi di Indonesia. Bencana banjir bandang di Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, pada Kamis, 14 Oktober 2010 yang menewaskan banyak nyawa manusia, tampaknya memupus harapan rakyat Indonesia untuk melihat keheroikan Sby seperti yang dilakukan oleh Pinera dalam drama penyelamatan ke-33 penambang Cile. Bertolak belakang sekali dengan Pinera, Sby mengenakan safari dan membawa mobil Mercedes Benz antipeluru lengkap dengan protokoler dan penjagaan ketat dari pasukan pengawal presiden, seolah presiden berada dalam medan pertempuran. Sby pun hanya mengunjungi Wasior selama 3 jam, sangat bertolak belakang dengan Pinera yang menunggui langsung peristiwa penyelamatan selama 3 hari. Padahal bencana banjir bandang di Wasior jauh lebih parah jika dibandingkan dengan yang terjadi di Cile.
Sby bahkan seakan hanya menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir bandang. Padahal dugaan kuat penyebab banjir di Wasior adalah pengambilan pasir dan batu dari bukit oleh PT Agro Nusa Abdi untuk pengerasan jalan di areal perkebunan kelapa sawit. Hal-hal semacam ini yang menyebabkan rakyat Papua merasa dianaktirikan dan jangan terkejut jika OPM (Organisasi Papua Merdeka) makin merasa kemerdekaan Papua adalah harga mati. Seharusnya bencana banjir bandang di Wasior ini bisa mengangkat popularitas pemerintah Indonesia yang tanggap dan peduli akan penderitaan rakyat Papua yang nantinya akan berdampak pada merosotnya dukungan terhadap OPM. Tetapi nampaknya pemerintah malah lebih disibukkan dengan masalah penetapan calon Kapolri dan berbagai masalah yang seharusnya menjadi prioritas kedua setelah masalah Wasior.
Yang lebih mengejutkan lagi Daniel Sparinga, alumnus Universitas Airlangga yang menjadi salah satu staf kepresidenan, dalam acara Today’s Dialogue di Metro TV pada Selasa malam tanggal 19 Oktober 2010 menyatakan Sby telah mengetahui bencana di Wasior sejak hari pertama bencana, tetapi mengapa Sby baru mengunjungi Wasior pada hari ke-5 bencana dikarenakan hari-hari sebelumnya ada penolakan rencana kunjungan presiden dari petugas penanggulan bencana di sana yang menyatakan kunjungan presiden hanya akan “merepotkan”. Merepotkan? Jika seorang ingin mengunjungi saudaranya yang tertimpa musibah, kunjungan ini seharusnyalah meringankan beban saudaranya yang tertimpa musibah, bukan malah merepotkan. Jika dengan mobil Mercedes Benz antipeluru, pengawalan ketat, dan protokoler dari Paspampres yang melengkapi presiden yang hanya berkunjung selama 3 jam tentu merupakan sesuatu yang sangat merepotkan. Cobalah kalau Sby belajar dari Pinera yang menanggalkan semuanya itu untuk lebih dekat dan peduli terhadap rakyatnya dan bukan malah membuat jurang pemisah yang semakin dalam.
Duka masa lalu yang masih menyisahkan luka bagi rakyat Indonesia di Papua janganlah menambah infeksi yang bertambah parah dengan penanggalangan bencana banjir di Wasior oleh pemerintah. Politik pencitraan presiden selama ini telah terbukti gagal untuk mengatasi krisis multidimensional yang tengah dihadapi bangsa ini. Kasus-kasus HAM seperti pembunuhan Munir, peristiwa Trisakti, pelanggaran HAM berat oleh petinggi TNI terkait kasusTimor-Timur, dan masih banyak lagi tidak menjadi prioritas presiden jika dibanding dengan peristiwa-peristiwa yang seharusnya tidak membutuhkan perhatian presiden yang teralu signifikan. Ancaman pembunuhan kepada presiden dan aksi demo seratus hari kinerja pemerintahan dengan membawa kerbau yang membuat Presiden Sby tersinggung terbukti ampuh untuk menyita perhatian presiden. Jeritan rakyat kecil yang tertindas dan tertimpa bencana seolah kurang keras untuk menyadarkan presiden dari tidur lelapnya.
Pernyataan perdana menteri Malaysia yang jelas-jelas menyinggung presiden malah ditanggapi dengan feminimitas kebijakan pemerintahan terkait penyelesaian kasus perbatasan dengan Malaysia. Pidato presiden di Markas Besar TNI di Cilangkap yang digadang-gandang merupakan pidato pamungkas tentang harga diri bangsa malah hanya berisi wejangan-wejangan yang sekali lagi terbalut kesan feminimitas pemerintahan. Tak ayal kasus pelemparan tinja di Kedubes Malaysia terjadi. Disaat ketegasan pemerintah dirasa kurang, maka rakyat akan melakukan gerakan sendiri yang rawan akan penyimpangan.
Satu tahun pemerintahan Sby-Budiono yang jatuh pada
tanggal 20 Oktober 2010 in meninggalkan catatan buruk terhadap penyelesaian
krisis bangsa. Jika tidak ada perubahan revolusioner yang nyata di setiap
elemen pemerintahan, dikhawatirkan pergerakan-pergerakan rakyat malah akan
membawa dampak yang lebih besar dan destruktif. (Edwin Gore)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar