(ditulis bersama-sama dalam workshop Serikat Jurnalis untuk Keberagaman di Solo, 25-27 November 2011)
Manusia
mendamba kehidupan normal, perlakuan
yang sama baik dihadapan hukum, pemerintah, agama, politik, ekonomi, sosial, budaya dan sesama manusia. Tak
membedakan apakah dia lesbi, gay, biseksual, transgender, interseksual dan
queer (LGBTIQ). Perspektif yang berbeda terhadap golongan tersebut akan memberikan dampak yang tidak
harmonis dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti
apa yang dikatakan oleh Chyntia salah seorang waria yang menjadi narasumber
pada workshop jurnalis kampus yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk
Keberagaman (SEJUK) pada
26 November 2011 di Hotel Sahid Jaya, Solo, ”seringkali mereka tidak ingin
mengerti tentang apa yang sebenarnya saya rasakan. Saya juga ingin dianggap
sebagai manusia seperti pada umunya.” Waria yang memiliki pasangan dan mengadopsi anak ini menambahkan,
“Saya juga ingin diundang ke acara arisan, PKK, pengajian, dan sebagainya.
Intinya saya juga ingin mendapat
perlakuan yang sama, karena saya juga manusia seutuhnya sama
seperti orang lain.”
Dalam
perspektif Hak Asasi
Manusia (HAM), menurut Andrew
Fagan, “Hak asasi manusia adalah moral dasar, yang menjamin semua orang, just because they are human.” Kaum
LGBTIQ termasuk warga negara Indonesia. Mereka pun harus dijamin kemerdekaannya
untuk berekspresi. Hal itu sudah dilindungi oleh UUD 1945 khususnya pasal 28.
Sudah Jelas ada payung hukum yang sah atas semua ini. Jadi jika sekelompok
orang yang mengatasnamakan dirinya dengan nama Front Pembela Islam (FPI) atau
siapapun kelomponya melakukan tindak kekerasan dan pemaksaan kepada anggota
Himpunan Waria Solo (HIWASO) yang hanya ingin berekspresi lewat perlombaan
voli, adalah jelas inkonstitusional. “Kami hanya ingin bermain voli tanpa ada
niat buruk apapun. Ijin mulai dari RT/RW sampai Walikota Solo sudah kami dapat,
tetapi dengan sewenang-wenang mereka membubar paksakan tanpa ada tindakan
apapun dari pihak yang berwajib”, ungkap Chintia.
Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh polisi, menurut
Sidney Jones, pemerhati kehidupan sosial di Indonesia, adalah semacam lampu
hijau kepada tindak kekerasan yang lebih besar. Dan memang benar, tidak lama
setelah aksi pembubaran paksa oleh FPI tersebut, tepatnya pada saat malam Idul
Qurban lalu di Solo, terjadi tindak kekerasan yang lebih parah. Chintia sebagai
ketua HIWASO, dipukul oleh salah seorang oknum FPI hingga luka parah. Chintia
dipukul di bagian belakang kepalanya dan baju putih yang di pakainya berlumuran
darah. Sampai sekarang kenangan lukanya masih membekas dan baju yang berlumuran
darah baru dibuang beberapa minggu yang lalu. Jika hal semacam ini terus
dibiarkan, maka UUD 1945 secara langsung maupun tidak langsung dilecehkan,
karena tidak ada perlindungan oleh negara kepada warganya untuk berekspresi,
jaminan akan kehidupan yang aman, bebas dari ancaman, dan tindak kekerasan.
Tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Londo dan
Yuwono aktivis GESANK Solo yang juga adalah seorang Homoseksual. “Saat kami
berkumpul dengan para sesama gay di Sriwedari Solo, FPI datang dan berusaha
membubarkan kami secara paksa dan memukul beberapa anggota kami. Apa salah
kami? Kami hanya berkumpul bersama dan tidak melalakukan kejahatan macam
apapun.”jelas Londo. Tentu ini adalah sebuah perbuatan pelanggaran hukum.
Pertama, FPI bukan pejabat berwenang yang mempresentasikan negara dalam
melakukan aksi pembubaran. Kedua, apa yang salah dari berkumpulnya para gay
tersebut, sehingga harus dibubarkan? Bukankah hak untuk berkumpul dilindungi
oleh negara? Dalam pasal 24 ayat 1 Undang-Undang no 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia meyebutkan setiap
orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. Bagaimana dengan sikap aparat yang berwenang? “Kami
sudah lapor polisi terkait aksi pembubaran dan tindak kekerasan ini, tapi tak
ada yang menggubris.” lanjutnya. Sekali lagi pejabat berwenang telah melakukan
pelanggaran HAM secara ommision atau dengan melakukan pembiaran terhadap
terjadinya tidak pelanggaran HAM.
Kaum minoritas terutama kaum LGBT di Indonesia tidak
hanya tidak mendapat perlindungan hukum dari negara, perspektif masyarakat luas
yang tidak toleran terhadap mereka pun menambah penderitaan mereka. Londo
mencontohkan “Aku sebenarnya terluka ketika masyarakat menjauhi dan
megolok-olok aku. Kami juga punya perasaan!” Begitupula yang dialami oleh
Chyntia lewat anak-anaknya. Anak Chintya sering mengalami kekerasan verbal dan
psikologis dari lingkungan pergaulan di sekolahnya. Sebutan anak banci kerap di
sasarkan kepada anaknya ini. Bayangkan apa yang sudah harus dibebankan pada
anak yang masih usia kelas 5 SD ini? Bagaimanakah cara anak dalam usia ini
harus menjelaskan kepada teman-temannya bahwa meskipun ibunya adalah seorang
laki-laki sejatinya, tapi yang telah dilakukan ibu warianya untuk mengabdi pada
keluarganya itu melampaui perempuan manapun di dunia ini? Chyntia harus kerja
siang malam agar keluarganya itu dapat bertahan dari himpitan ekonomi. Sekarang
bagaimana caranya agar anak se-usia itu
harus sudah mampu menjelaskan bahwa bukan bentuk fisiklah yang menentukan baik
buruknya perbuatan seseorang apa lagi untuk merubah perspektif seseorang?
Sangatlah tidak adil untuk kita memojokkan anak sekecil itu untuk sebuah
perspektif egois dan bias gender ini. Mereka sudah sangat dirugikan dengan by
commision dan by ommision terkait dengan pelanggaran HAM. Apakah kita tetap
akan menambah penderitaan mereka lagi dengan melakukan kekerasan psikologis,
verbal, dan sigmastisasi terhadap mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar