I
|
ndeks korupsi Indonesia sekarang
ada dalam posisi yang tidak membanggagakan. Meskipun lebih baik dari
tahun-tahun sebelumnya, posisi indeks persepsi korupsi Indonesia, menurut Transparency
Internasional, berada satu kotak di peringkat 100 dari 182 negara yang
disurvei, bersama Jibouti, Burkina Faso, Gabon, dan Madagaskar.[1] Ini
merupakan permasalahan besar yang dihadapi bangsa ini karena kita telah merdeka
selama 66 tahun. Jika dibandingkan dengan umur negara-negara sperti Malaysia,
Singapura, dan bahkan Jepang yang harus membenahi diri dari depresi ekonomi dan
krisis induced nuclear reaction[2] setelah
di bom Atom oleh sekutu di Hirosima dan Nagasaki, yang lebih muda dari
Indonesia, indeks persepsi korupsinya sangat jauh lebih baik. Untuk Singapura,
meskipun Menteri Komunikasi dan Informasi dari Partai Keadilan Sejahtera,
Tifatul Sembiring bersikeras agar Research In Motion (Perusahaan pemroduksi
BlackBerry asal Kanada) membangun server di Indonesia[3], tetapi
RIM malah memlih negeri yang penghasilan
kepala negaranya no.1 di dunia bahkan mengalahkan Amerika ini.
Meskipun Tifatul beralasan bahwa
Indonesia adalah salah satu pengguna BlackBerry terbesar di dunia, tetapi tetap
RIM tidak mengindahkannya dengan alasan kurangnya law protection bagi investor, birokrasi yang berbelit-belit, dan
korupsi yang mebahana di Indonesia. Yang meskipun pengguna BlackBerry di
Singapura dapat dipastikan tidak ada sekuku-hitamnya dengan
pengguna BlackBerry di Indonesia, mengingat luas Singapura sendiri bahkan tidak
lebih besar dari propinsi Jawa Timur, RIM tetap memilih Singapura sebagai
pijakan server BB-nya (sapaan akrab untuk BlackBerry). Apalagi alasannya kalau
bukan RIM lebih mempercayai iklim investasi Singapura dari pada di Indonesia
yang notabene adalah salah satu konsumen terbesarnya.
Belum lagi Institusi Criminal
Justice System Indonesia (Kepolisian, Kejaksaan, Pengacara, Kehakiman, dll)
seperti dipermainkan oleh seorang mantan Bendahara Umum Partai Demokrat,
Muhammad Nazaruddin. Bermula dari penangkapan Mindo Rosalina Manulang, anak
buahnya, dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games Palembang pada 21 April,
Muhammad Nazaruddin terseret pelbagai perkara[4] (salah
satunya kasus proyek pembangunan Rumah Sakit Hewan Universitas Airlangga,
Surabaya, yang disebut-sebut sempat membawa nama Rektor UNAIR diperiksa komisi
antirasuah) dan melarikan diri dari Indonesia. Dalam pelariannya keliling
dunia, sebelum ditangkap oleh Kepolisian Kolumbia di Cartagena yang kemudian
diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi , Nazar (panggilan akrab
Muhammad Nazaruddin) bernyanyi lewat situs jejaring sosial menyeret beberapa
orang koleganya di Partai Demokrat, salah satunya Anas Urbaningrum. Lulusan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR ini, disebut-sebut oleh Nazar
melakukan politik uang atas terpilihnya ia sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Masih banyak contoh kasus-kasus
hukum yang mencerminkan, betapa uniknya hukum di Indonesia ini. Misal saja
kasus penghentian Penyidikan atas kasus dugaan suap yang menyeret para petinggi
KPK, yaitu Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Alasan dihentikannya proses
penyidikan kasus dugaan suap petinggi KPK tersebut adalah diberhentikan demi
kepentingan umum. Kepentingan umum? Menurut aturan hukumnya, penghentian proses
penyidikan hanya ada 3, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana,
dan dihentikan demi hukum[5]. Pun,
dihentikan demi hukum hanya mencakup syarat : tersangka kasus tersebut
meninggal (Pasal 77 KUHP), kasus tersebut sudah daluarsa (Pasal 78 KUHP), dan ne bis in idem[6] (Pasal 78 KUHP).
Tidak ada satu pasalpun dalam
hukum positif di Indonesia, alasan kepentingan umum dijadikan dasar penghentian
penyidikan. Kita semua pasti setuju bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam
memberantas praktek korupsi di Indonesia, harus bisa menjalankan tugasnya
dengan maksimal tanpa ada intervensi dan pelemahan dari kekuatan apapun baik
Eksekutif, Legislatif, Yudisiil, dan Media[7]. Tetapi
bukan dengan pengada-adan hukum yang tidak ada, tetapi harus sesuai dengan tata
hukum dan aturan perundang-udangan di Indonesia. Sarjana hukum (terutama fresh graduate) manapun di Indonesia
pasti akan kelimpungan melihat anomali hukum ini yang dilakukan malahan oleh
praktisi-praktisi hukum yang memiliki berbagai titel bersandingan dengan
namanya.
Bisa dibilang, hampir semua
praktek pelanggaran hukum di Indonesia dilakukan oleh orang-orang yang tau
hukum atau sarjana hukum. Kasus Gayus sang mafia pajak[8], lapas
eksekutif ala Artalita Suryani, kasus bill
out Century[9],
dan baru-baru ini kasus kekerasan di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat[10], semua
dilakukan oleh pejabat-pejabat yang seharusnya menegakkan hukum di Indonesia
dan sebagian besar dari mereka adalah sarjana hukum.
Perguruan tinggi memiliki
tanggung jawab moral dan institusional yang besar dalam membentuk produk
sarjana hukumnya. Apasajakah yang diajarkan di institusi pendidikan terutama
perguruan tinggi di Indonesia kepada para calon sarjanannya sehingga mengasilkan
produk-produk seperti Gayus Tambunan, Nazaruddin, dan para Gubernur dan Bupati
sampai anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terseret dalam berbagai kasus korupsi?
Jika melihat mahalnya biaya pendidikan di Indonesia (termasuk juga di UNAIR)
dan pemusnahan kritisisme institusi pendidikan secara nyata maupun berkedok
pemadatan mata kuliah-mata kuliah yang “laku di pasaran” diringi penghilangan
secara perlahan-lahan mata kuliah yang tidak “laku” tapi kritis, tanpa
membekali para calon sarjananya dengan kesadaran diri, ingenuitas, heroisme,
dan kepedulian[11]
misalnya, maka tak ayal produk-produk itulah outputnya. Dan lebih celakanya, merekalah yang menentukan masa
depan dan memegang kemudi bangsa ini. (Edwin Gore)
[1] Majalah Tempo. Jakarta : PT
TEMPO INTI MEDIA Tbk, 8 Januari 2012. h: 15.
[2] Dalam bahasa Indonesia sama seperti imbas dari reaksi nuklir yang
sangat berbahaya.
[3] Majalah Tempo. Jakarta : PT
TEMPO INTI MEDIA Tbk, 1 Januari 2012. h: 25.
[4] Ibid., h: 50.
[5] Didik
Endro Purwoleksono. Diktat Hukum Acara Pidana untuk Mahasiswa UNAIR. Surabaya, 2011, h: 6.
[6] Ini adalah asas hukum yang menyebutkan secara garis besar bahwa tidak
boleh seorang diperkarakan kembali atas perkara hukum yang sama, yang telah
incraht atau berkekuatan hukum tetap.
[7] Media disebut-sebut sebagai pilar demokrasi baru. Karni Ilyas
menyebutnya dalam iklan layanan salah satu stasiun televisi swasta di
Indonesia.
[8] Atas vonis Mahkamah Agung, ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
[9] Meskipun oleh DPR dana talangan Bank Century dianggap bermasalah,
sampai saat ini kasus tersebut seperti dipeti-eskan oleh Pemerintah.
[10] Komnas HAM menyatakan ada pelanggaran HAM oleh Polisi di Bima terhadap
masyarakat sipil. Penembakan warga sipil di Sape tidak sesuai dengan Prosedur
Tetap Kepolisian.
[11] Chris Lowney. Heroic Leadership. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2005, h: 32. Prinsip ini digunakan oleh Ignatius Loyola sebagai Pilar Inti dari
Yesuit. Adalah sebuah konggergasi imam-imam Katolik atau lebih tepat disebut
sebagai “Perusahaan” yang umurnya sudah lebih dari 450 tahun dan dianggap
beberapa kalangan sebagai organisasi terbaik di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar