“Pendidikan menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme guna
memperjuangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan-kepentingan politik yang
kerdil dan sempit yang kemudian hanya mengorbankan kepentingan bangsanya.
Pendidikan itu berupaya sekuat tenaga menanamkan rasa persaudaraan, persamaan,
kesetiakawanan, dan kebersamaan hidup senasib dan seperjuangan, membela bangsa
dalam segala bentuk penindasan, baik secara fisik maupun psikis, tidak peduli
apakah pendidikan tersebut berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri.
Pendidikan pun bermuara guna melahirkan rasa mencintai segala aset bangsa agar
dijaga dengan segala cara, agar dapat dimanfaatkan bagi kebesaran dan
kemakmuran bangsa..” (Ki Hadjar Dewantara). Saya seperti tertampar oleh kutipan
dari salah tokoh pendidikan sepanjang masa yang juga sebagai pendiri institusi
pendidkan Taman Siswa ini. Tak sedikitpun terlintas dalam benak saya bahwa
sebegitu agung sebenarnya arti pendidikan itu. Berarti yang selama ini
didengung-dengungkan sejak di sekolah
dasar sampai sekarang dalam tataran
univeristas bahwa “pendidikan hanya untuk
memporoleh penghasilan dan uang” adalah sangat paradoks dengan yang
dituturkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Apakah mungkin biaya pendidikan yang sekarang sedemikian mahalnya, restorasi budaya besar-besaran di institusi pendidikan yang dahulu menjunjung tinggi identitas bangsa berubah menjadi western culture shock, dan bahkan masalah Indonesia nomor wahid (di samping kekerasan) tentang komersialisasi yang berujung pada korupsi berbanding lurus dengan paradigma pendidikan “era reformasi” tadi? Melihat alur yang terbentuk sekarang di banyak instititusi pendidikan yang adalah mengukur segala sesuatu dari materi, konkritnya uang, nampaknya menjadikan nilai-nilai luhur pendidkan yang dipaparkan oleh Ki Hadjar Dewantara hanya sebagai senandung masa lalu atau bahkan “senandung orang mati”.
Jangankan di institusi pendidikan swasta (termasuk institusi pendidikan swasta yang “katanya” mendasarkan diri pada suatu ajaran agama tertentu), virus money orientation telah menggerogoti sistem sampai ke institusi pendidikan negara. Di Brasil yang notabene adalah sama-sama negara berkembang, biaya pendidikan di perguruan tinggi negara gratis. Tapi meskipun sama sebagai negara berkembang, pendidikan gratis di Indonesia adalah sebuah dongeng belaka. Memang kualitas pendidikan tidak berbanding lurus dengan berapa besarnya dana yang digelontorkan, tetapi tenaga pengajar yang digaji dengan layak, gedung sekolah, buku-buku yang berkualitas, dan berbagai sarana “minimal” lain harus dipenuhi. Bagaimana bisa mentas dari kemiskinan jika kekurangan guru yang kompeten dan tidak digaji dengan layak, gedung sekolah yang rusak atau bahkan tidak ada, buku-buku yang mahal, tidak bermutu, dan hanya berisi propaganda-propaganda pemerintah?
Masih ingatkah kita semua akan kasus kekerasan di IPDN atau dulu yang disebut STPDN, kasus yang sempat menggegerkan Indonesia lewat tayangan video amatir yang merekam aksi kekerasan brutal yang dilakukan oleh senior kepada juniornya dengan alasan penggojlokan? Tak heran kalau bangsa Indonesia masih terus akan berkutat pada aksi kekerasan. Tak heran pula tingkat kepercayaan warga negara kepada para penyelenggara negara menjadi “zero”. Karena sudah pasti wong orang-orang pilihan negeri yang masuk seleksi ketat dan menjadi pelajar di IPDN yang pasti terpelajar saja sudah mengamini kekerasan brutal dan tersisitem ini, apalagi rakyat jelata yang miskin dan hampir nyaris tak pernah mengecap pendidikan? Jadi jangan kaget kasus kekerasan yang terjadi di Ambon, Lombok, sampai Papua, meletus. Yang berpendidikan saja suka tawuran dan bulying, apalagi yang tidak.
Dan orang yang berani melawan dan kritis terhadap hal ini akan mendapat hadiah cacian sok suci, pemberangusan bicara, penyulitan-penyulitan yang tidak masuk akal, dan bahkan pemecatan. Tengoklah kasus Ibnu Kencana Syafei, salah seorang dosen di IPDN yang kritis dan vokal terhadap kampusnya. Salah satunya karena dialah akhirnya diketemukan kubur mantan pelajar IPDN, yang bahkan keluarganya sendiri pun belum pernah menjenguk kuburan anaknya yang penyebab kematiannya diindikasi akibat tindak kekerasan. Dan yang sangat mencengankan, kuburan tersebut bukan dalam kompleks pekuburan tetapi berada dalam kompleks IPDN sendiri. Dan apa yang diperoleh Ibnu Syafei atas kekritisisannya dan pengabdiannya selama 56 tahun di IPDN, ancaman mutasi. Belum lagi masalah baru-baru ini yaitu kasus contek masal tersistem, dan gilanya kasus ini terjadi di bangku sekolah dasar. Dapat dibayangkan generasi-generasi penerus bangsa ini sudah diajari korupsi sedari kecil, dan parahnya oleh sekolahnya sendiri.
Konspirasi besar-besaran, korupsi, kebohongan publik, dan kekerasan terjadi di hampir semua lembaga negara, mulai dari yang paling kering sampai yang paling basah, mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi, dan kabar buruknya, ya, sudah mulai masuk ke institusi pendidikan. Tak butuh waktu lama untuk menyadari hal itu terjadi di Universitas yang berslogan Excellence with Morality kita ini, dan semoga bukan Modality. Lewat berbagai isu SP3, Ikoma, pemadatan jadwal kuliah, dan sebagainya. Dan disadari atau tidak sudah juga masuk fakultas hukum kita, mulai dari mahasiswanya sampai para birokratnya. “Curang gak popo wong tetangga sebelah curang pisan kok, sing penting kene untung disik, masalah goroh, korupsi, goblok-goblokan urusan mburi..” sepertinya tampak tidak asing lagi bukan? Atau jangan-jangan kita (termasuk saya) sudah melakukannya?
Itulah wajah pendidikan di Indonesia, pendidikan yang sudah meninggalkan baju lamanya yang independent, ilmiah, nonkompromi, dan menjunjung moralitas dan rasio berganti menjadi penuh dengan intervensi non akademis yang merusak. Dan dengan sangat bersedih hati, banyak Institusi pendidikan di Indonesia menganggap hal fundamental ini adalah sekali lagi “senandung orang mati”. Seorang kaum terdidik, mahasiswa salah satunya, yang curang, korupsi, kompromistis, amoral, dan sebagainya sebenarnya telah menghianati makna pendidikan itu sendiri.
Dalam setiap kegelapan selalu ada terang. Ki Hadjar Dewantara telah menyalakan lilin pertama dan berhenti mengutuki gelap bangsa ini yang tiada habisnya. Ini adalah saatnya kita sebagai lilin kecil untuk membantu menerangi nyalanya yang hampir padam. (Edwin Gore)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar