Implementasi Ideologi GmnI dalam Advokasi[1]
1. Apakah Ideologi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia itu?
Secara epistimologi,
ideologi sendiri berasal dari kata idea yang berarti pikiran dan logos yang
berarti ilmu.[2]
Ide adalah sekumpulan ide atau gagasan yang dimiliki oleh seseorang. Logos
adalah seperangkat ilmu yang di dalamnya terlengkapi dengan sitematisasi.
Tujuan dari ideologi sendiri adalah untuk perubahan kehidupan manusia ke arah
yang lebih baik. Jadi ideologi adalah seperangkat ilmu yang mensistematisasi
sekumpulan ide atau gagasan yang dimiliki oleh manusia untuk menuju perubahan
ke arah yang lebih baik.
Apakah
ideologi GmnI itu sendiri? Apakah ideologi
GmnI itu Marhaenisme? Selanjutnya,
bagaimanakah kedudukan Pancasila yang notabene adalah ideologi negara di dalam
basis GmnI? Apakah Marhenisme itu sama dengan Pancasila? Ataukah keduanya malah
saling saling paradoks? Akan lebih baik bila kita membahas Marhaenisme dan Pancasila,
khususnya Pancasila 1 Juni, masing-masing terlebih dahulu.
1.1. Marhenisme
Isitilah Marhenisme sendiri disebarluaskan oleh
Soekarno melalui pledoinya yang sangat terkenal yaitu Indonesia Menggugat. Marhenisme
adalah jawaban dari kekurangan Marx dalam menyebutkan kaum tertindas. Dalam menyebutkan kaum tertindas, Karl Marx
menggunakan istilah proletar, yaitu kaum buruh upahan yang tertindas oleh
tekanan dari kaum pemilik modal dan alat-alat produksi. [3] Lewat
Marhaenisme Soekarno secara tajam menyorot ketidaklengkapan konsep proletar
Marx dengan kondisi di Indonesia.
Menurut pandangan Soekarno, kondisi rakyat di
Indonesia pada waktu itu tidak industrialis seperti apa yang terjadi di
negara-negara Eropa. Bedanya adalah masa Marhaen terdiri dari tiga unsur yaitu
unsur kaum proletar, unsur kaum tani melarat Indoesia, dan kaum melarat
Indoesia yang lain.[4]
Marhaen memiliki konsep yang lebih luas dari proletar dan menggambarkan apa
yang terjadi dengan kondisi rakyat Indonesia. lebih-lebih istilah kaum Marhaen
digambarkan oleh Soekarno dengan “Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai
alat‐alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat‐alat kecil,
sekedar cukup untuk dirinya sendiri.”[5]
Untuk lebih lengkapnya mengenal Marhaenisme,
berikut adalah sembilan tesis yang diperkenalkan Sukarno dalam kongres Partindo
pada Juni 1933:[6]
a.
Marhaenisme, yaitu
sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi.
b.
Marhaen, yaitu kaum proletar
Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat Indonesia
lainnya.
c.
Soekarno memakai perkataan
Marhaen, bukannya proletar, karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam
perkataan Marhaen. Selain itu perkataan proletar itu juga bisa termasuk kaum
tani dan kaum melarat lain yang yang tidak termaktub di dalamnya.
d.
Karena Soekarno berkeyakinan bahwa
di dalam perjuangan kaum melarat Indonesia yang lain-lain harus menjadi
elemen-elemennya, maka Soekarno memakai perkataan Marhaen itu.
e.
Di dalam perjuangan Marhaen itu,
Soekarno berkeyakinan bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar.
f.
Marhaenisme adalah azas yang
menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang dapat menyelamatkan
Marhaen.
g.
Marhaenisme adalah cara perjuangan
untuk mencapai susunan negeri yang demikian itu. Oleh karena itu, cara
perjuangannya harus revolusioner.
h.
Marhaenisme adalah cara perjuangan
dan azas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme.
i.
Marhaenis dalah setiap orang
Indonesia yang menjalankan Marhaenisme.
Dari kutipan di atas dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
-
Marhaen
Setiap orang yang hidupnya menderita (lahir-batin
dalam ekonomi-sosial-politik-budaya) karena penindasan. Yang mencakup kaum
proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat
Indonesia lainnya.
-
Marhaenis
Setiap orang yang berjuang bersama kaum Marhaen
dalam membebaskan diri dari setiap bentuk penindasan, untuk mewujudkan
kehidupan yang marhaenistis. Termasuk di dalamnya adalah kita sebagai
kader-kader GmnI.
-
Masyarakat Marhaenistis
Tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan
beradab, berdasarkan kesederajatan, dan kebersamaan yang bebas
dari segala bentuk penindasan.
-
Marhaenisme
Marhaenisme adalah azas yang menghendaki
tatanan masyarakat yang dapat menyelamatkan kaum Marhaen dengan suatu cara
perjuangan (progresif revolusioner)untuk mencapai susunan negeri yang demikian
itu.
Ajaran ideologi yang merupakan ajaran Soekarno
secara keseluruhan semua termaktub dalam Marhaenisme.[7]
Meskipun belum tersusun secara sistematis, tetapi di
dalamnya akan ditemukan suatu alur yang konsisten, suatu ideologi yang membela
rakyat dari penindasan dan pemerasan suatu sistem yang ada, guna membangun
masyarakat adil-makmur dan beradab, bebas dari segala penindasan dan pemerasan.[8]
Ideologi tersebut memiliki 2 asas yaitu Sosio Nasionalisme
yang adalah nasionalisme sosial bewust/sadar kaum Marhaen dan Sosio Demokrasi
yang adalah demokrasi yang juga sosial beswust kaum Marhaen.
1.2. Pancasila
Pancasila sekarang yang ada dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, adalah sejatinya berasal dari Pancasila 1 Juni menurut Soekarno
yang disampaikan di dalam sidang BPUPKI.
- Nasionalisme
atau kebangsaan
- Internasionalisme
atau pri kemanusiaan
- Mufakat
atau demokrasi
- Kesejahteraan
- KeTuhanan
Dari ke-5 sila di atas dapat diperas menjadi
trisila:
- Sosio
Nasionalisme-------------Kebangsaan Indonesia dan Nasionalisme
- Sosio
Demokrasi----------------Mufakat dan kesejahteraan sosial
- KeTuhanan
Yang Maha Esa—Haruslah tuntas di dalam diri setiap orang
Dari trisila tadi dapat diperas lagi menjadi
ekasila, yaitu Gotong royong.[9] Gotong
royong bukanlah sebuah paham yang semata-mata diciptakan oleh Soekarno. Tetapi
Soekarno adalah orang pertama yang menggalinya. Menggali nilai-nilai yang
sebenarnya telah hidup dan berkembang di Indonesia bahkan sejak masa
Majahpahit. Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari
kekeluargaan.[10]
Paham inilah yang dibutuhkan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil,
makmur, dan beradab, berdasarkan kesederajatan, dan kebersamaan yang bebas dari
segala bentuk penindasan untuk mencapai kehidupan yang damai sejahtera. Gotong
royong harus tetap melekat di dalam setiap diri manusia Indonesia. menurut Soekarno gotong royong adalah “...pembantingan
tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama.
Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Ho-lopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama!”[11]
kepentingan bersama!”[11]
Dengan
demikian tidak perlu ada perdebatan lagi antara apakah ideologi GmnI itu
Marhaenisme ataukah Pancasila. Karena sejatinya Marhaenisme dan Pancasila
adalah saling melandasi. Meskipun lahirnya Marhaenisme lebih dulu daripada
Pancasila, namun Marhaenisme dan Pancasila memiliki keterkaitan secara
filosofis yang tidak dapat dipisahkan.
2. Bekal Seorang Kader GmnI dalam Mengimplementasikan Ideologi
dalam Advokasi
Ideologi adalah
salah satu dari 5 pancalogi GmnI, selain Revolusi, Organisasi, Studi, dan
Integrasi, yang akan dibahas berikut ini.
Revolusi
Tantangan
kader GmnI dalam memperjuangkan kaum Marhaen adalah tentu melawan sang penindas
itu sendiri. Musuh kader GmnI selalu berkembang. Misalnya dari jaman pejajahan,
dengan berawal Gold, Glory, Gospel yang hanya semata mencari kekayaan, berubah
menjadi Kolonialisme dan Imperialisme. Kemudian berubah lagi dengan menanamkan
pengaruh ke negara lain. Dan bentuk paling modern adalah bentuk penjajahan gaya
baru, dimana kaum Marhaen sampai tidak menyadari bahwa dirinya sedang dijajah.
Ya, ini adalah bentuk penindasa paling tinggi, dan lebih miris lagi bahwa
bangsa sendiri yang melakukannya.
Ini adalah
lahan kalau dapat dikatakan seperti itu, seorang Kader GmnI dalam melawan.
Tentu jika tanpa bekal akan menjadi percuma. Bekal yang dimaksud adalah
Revolusi. Revolusilah jawaban dari peninasan kaum Marhaen. Dengan bekal
Marhaenisme sebagai ideologi, ideologi yang tidak berubah, seorang kader GmnI
berjuang secara cepat, tepat, dan mendasar melawan bentuk penjajahan yang
selalu berubah-ubah.
Organisasi
Dalam
memperjuangkan kaum Marhaen, perjuangan orang-perorang adalah sebuah hal yang
percuma. Seperti peribahasa sebatang lidi mudah dipatahkan, seikat lidi adalah
mustahil. Begitupula dalam berjuang, perjuangan seorang kader adalah sangat
mudah digagalkan, tetapi dengan kerjasama kader tentu bukanlah hal yang
mustahil untuk merubah dunia. Seperti kata Soekarno, “Aku hanya butuh sepuluh
orang pemuda untuk merubah dunia.” Tetapi sepuluh orang tanpa organisasi adalah
percuma!
Studi
Jelas
dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, subjek gerakan adalah mahasiswa
yang adalah kaum terdidik dan terpelajar. Dalam tridharma perguruan tinggi pun,
studi menempati tempat yang utama, yaitu dalam pendidikan dan penelitian. GmnI
bukanlah organisasi masa yang biasa, GmnI adalah organisasi masa yang terdidik,
tentu hal itu adalah sebuah keunggulan. Jadi sekali lagi studi adalah sangat
penting untuk bekal seorang kader dalam menghadapi kaum penindas.
Integrasi
GmnI berjuang bersama rakyat, GmnI berjuang untuk rakyat. Itulah inti dari integrasi. Karena kader GmnI adalah seorang Marhaenis, yang berjuang bersama kaum Marhaen, maka perlu adanya integrasi antara Marhaenis dan kaum Marhaen. Tidaklah mungkin kaum Marhaen berjuang sendiri atau bahkan berlawanan dengan perjuangan kaum Marhaenis. Karena jika hal ini terjadi, maka sang penindaslah yang menang. Jadi Integrasi adalah modal yang perlu dimiliki oleh kader GmnI.
GmnI berjuang bersama rakyat, GmnI berjuang untuk rakyat. Itulah inti dari integrasi. Karena kader GmnI adalah seorang Marhaenis, yang berjuang bersama kaum Marhaen, maka perlu adanya integrasi antara Marhaenis dan kaum Marhaen. Tidaklah mungkin kaum Marhaen berjuang sendiri atau bahkan berlawanan dengan perjuangan kaum Marhaenis. Karena jika hal ini terjadi, maka sang penindaslah yang menang. Jadi Integrasi adalah modal yang perlu dimiliki oleh kader GmnI.
3. Bagaimanakah mengimplementasikan ideologi GmnI dalam
Advokasi?
Seorang
Marhaenis memerlukan suatu sistematisasi perjuangan dalam memperjuangkan kaum
Marhaen. Karena lawan seorang marhaenis adalah para penindas yang dalam
menindas membentuk suatu sistem. Sistem penindasan L’explotation de nation par
nation (penindasan suatu bangsa terhadap bangsa lain) maupun L’aexplotation e
I’homme par L’homme (penindasan manusia terhadap manusia lainnya).[12] Seringkali
penindasan tersebut tidak terasa secara langsung. Tetapi secara halus dan
pelan-pelan sehingga mengakibatkan ketidaksadaran kaum Marhaen bilamana dirinya
ditindas. Ini adalah penindasan tingkat paling tinggi dan sangat berbahaya.
Oleh
karena menghadapi penindasan gaya baru tersebut, perlu adanya cara berjuang
kader GmnI yang dapat menjadi pegangan. Sistematisasi perjuangan tersebut ada
dalam asaz perjuangan Marhaenisme, yang terdiri dari:
a. Radikal Revolusioner
Sebuah gerakan melawan sistem penindasan terutama
penindasan gaya baru, harus dilakukan dengan cara radikal revolusioner. Radikal
yang berarti perjuangan kaum Marhaen harus mangakar kuat dalam diri kader GmnI
sendiri sebelum melakukan perjuangan kaum Marhaen. Karena radikal berasal dari
bahasa Lain radix, yang berarti akar pohon[13], jadi
keinginan kuat kader GmnI untuk memperjuangkan kaum Marhaen tak boleh roboh
atau tumbang.
Cara memperjuangkan kaum Marhaen tadi haruslah dilakukan
secara Revolusioner. Pengertian revolusioner berbeda dari evolusioner, intinya
perjuangan kaum Marhaen haruslah konkrit, tidak bertele-tele, cepat dan
mendasar. Hal ini disebabkan kaum penindas tidak menunggu waktu dalam melakukan
penindasan. Begitu juga dengan kaum Marhaen yang kelaparan sekarang. Apakah
kita dapat sehari saja kelaparan tanpa minum tanpa makan? Begitupun kaum
Marhaen, mereka tidak bisa menunggu waktu lagi untuk melawan rasa laparnya,
melawan penindasan yang sangat tidak adil, bekerja keras siang-malam hanya
untuk menguntungkan penindas mereka, dan sebagainya. Perjuangan harus dilakukan
sekarang, detik ini juga tanpa menunggu. Radikal dalam penghayatannya dan
revolusioner dalam implementasinya.
b.
Non-Kooperasi
Non-koopersi selalu ditunjukkan terhadap sistem yang
melakukan pemerasan dan penindasan, terhadap sistem yang mendatangkan
kesengsaraan dan penderitaan itulah non-kooperasi diarahkan.[14]
Non-kooperasi intinya adalah tidak mau bekerjasama dengan penindas, yang malah
akan berdampak pada semakin buruknya keadaan kaum Marhaen. Sikap tidak mau
berkompromi adalah juga salah satu contoh dari non-koopersi. Memang dalam
memperjuangkan kaum Marhaen kadang kita dihadapkan pada masalah yang harus
ditempuh dengan jalan kompromi, tetapi ingat, kompromi hanya perlu dilakukan
jika posii antara kita dan lawan adalah sederajat. Jika posisi kita di bawah,
maka kompromi hanyalah bentuk lain dari menyerah.
c.
Macthsvorming dan Machtsaanwending
Macthsvorming dan Machtsaanwending adalah
penyusunan kekuaatan dan penggunaan kekuatan, tetapi kedua kata ini harus
selalu diucapkan dan diartikan dalam satu tarikan nafas.[15]
Macthvorming bukanlah sekedar penyusunan tenaga wadah saja, di dalamnya adalah
juga penyusunan tenaga semangat, tenaga ruh, tenaga kemauna, tenaga nyawa.[16] Seperti
kata Marx, “... Tak pernahlah suatu kelas melepaskan hak-haknya atas kemauan
sendiri..”[17]
Inilah yang menyebakan paradoks antara kaum Marhaen dan kaum penindas terjadi.
Di satu sisi kaum penindas ingin mengeksploitasi sebanyak-banyaknya dari kaum
Marhaen, bahkan proses ini kalau dimungkinkan tidak akan berhenti. Sebaliknya
kaum Marhaen berusaha sekuat tenaga untuk dapat lepas dari cengkraman penindas.
Untuk itulah urgensi perjuangan kita kaum Marhaenis untuk melawan dengan
Macthsvorming dan Machtsaanwending tadi.
Soekarno mengartikan Macthsvorming sebagai “...Adalah
jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana menuruti kehendak kita. Paksaan ini
perlu, paksaan ini adalah syarat yang pertama...”.[18]
Penyusunan kekuatan adalah jalan “satu-satunya” untuk memperjuangkan kaum
Marhaen yang tengah ditindas, tetapi ingat Macthsvorming dan Machtsaanwending
selalu diucapkan dalam satu tarikan nafas dan tidak dapat dipisah. Sedangkan
Machtsaanwending atau massa-aksi adalah “...Aksi rakyat jelata (kaum Marhaen
dan Marhaenis), yang karena kesengsaraan, telah terluluh menjadi satu jiwa baru
yang radikal dan bermaksud ‘memarajikan’ terlahirnya masyarakat baru...”.
Macthsvorming dan Machtsaanwending adalah gerakan radikal
revolusioner yang dilakukan tanpa kooperasi dengan penindas yang ingin merubah
tatanan masyarakat lama ke masyarakat baru (mewujudkan masyarakat
marhaenistis). Macthsvorming dan Machtsaanwending dapat dilakukan dengan
mendirikan perhimpunan, menulis artikel pada majalah dan surat kabar,
mengadakan rapat-rapat umum, mengadakan kursus-kursus, dan demonstrasi.[19] Itu
tadi adalah bentuk-bentuk pergerakan nasional jaman penjajahan. Sekarang, masa
penjajahan gaya baru, penjajahan yang paling tinggi tingkatannya. Seperti kata
Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah
karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu
sendiri”[20]
d.
Self Help
Untuk menjaga konsistensi suatu gerakan, maka
suatu gerakan tidak boleh menggantungkan diri kepada satu pihak, melainkan
harus didukung oleh kekuatannya sendiri.[21]
Makudnya adalah bahwa sebuah gerakan harus mandiri dan tidak bergantung pada
siapapun apalagi pada kaum penindas. Tetapi GmnI berjuang untuk kaum Marhaen, yang
berarti bahwa GmnI memperjuangkan kepentingan-kepentingan kaum Marhaen untuk
mentas dari penindasan. Kecuali untuk hal ini, GmnI tidak independen, yang
artinya GmnI bertanggungjawab atas penindasan Kaum Marhaen.
GmnI adalah organisasi yang independen dan
berwatak kerakyatan. Artinya, GmnI tidak berafiliasi pada kekuatan politik
manapun, apalagi menjadi Underbow Partai Politik. GmnI berdaulat penuh dengan
prinsip percaya pada kekuatan diri sendiri.
e.
Self Reliance
Dan dengan dasar Self Help, suatu gerakan akan memiliki self reliance
(kepercayaan diri).[22] Ini
sangat penting dalam subuah gerakan, apalagi gerakan mahasiswa yang notabene
sering dipandang sebelah mata. Tanpa kepercayaan diri, perjuangan melawan kaum
penindas pasti akan percuma. Kader GmnI harus percaya pada diri sendiri, karena
modal bagi seorang kader GmnI pada hakikatnya adalah berasal dari dalam diri
sendiri. Pada akhirnya gerakan yang paling terutama adalah berasal dari diri
sendiri. (Edwin Gore)
[1] Ditulis oleh Edwin Gore, kader GmnI komisariat Hukum UNAIR untuk
pengantar materi pada saat kaderisasi GmnI komisariat di Villa Trawas pada
bulan Oktober 2011. Tetapi karena berbagai alasan materi ini tidak disajikan
pada calon-calon kader GmnI pada saat itu.
[2] Berasal dari bahasa Latin dan pertama kali diperkenalkan oleh seorang
filusuf Perancis bernama Antoine Destutt de Tracy (1754-1836)
[3] Diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Proletariat
[4] Dikutip dari tulisan “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat
Hukum Unair” oleh Nyoman Yustisia Putro R. 21 November 2009. Hal: 13.
[5] Cindy Adams, 1977. Soekarno, Penyambung Lidah Rakjat Indonesia,
Biography as told to Cindy Adams. Hal: 51.
[6] Sukarno, “Marhaen dan Proletar” dalam Fikiran Ra’jat, 1933, dimuat
kembali dalam Di Bawah Bendera Revolusi I, hal 253-256.
[7] Di kutib dari tulisan Ahmad Vidai yang berjudul “Marhaenisme”. Hal 1.
[8] Ibid
[9] Dikutip dari tulisan “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat
Hukum Unair” oleh Nyoman Yustisia Putro R. 21 November 2009. Hal: 14.
[10] ibid
[11] Sumber: Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945
[12] Di kutib dari tulisan Ahmad Vidai yang berjudul “Marhaenisme”. Hal 2.
[13] Di unduh dari http://kata-kata-hikmah2.blogspot.com/2010/05/pengertian-radikal.html
[14] Di kutib dari tulisan Ahmad Vidai yang berjudul “Marhaenisme”. Hal 3.
[15] ibid
[16] ibid
[17] Lihat halaman awal karya Karl Max dan Friederich Engels. Manifesto
Partai Komunis. Jakarta:Yayasan Pembaharuan, 1959.
[18] Djuhartono dkk (ed), Wejangan Revolusi Karya Bung Karno, Jakarta:
Yayasan Penyebar Pancasila, 1965. Hal: 21-22.
[19] Peter Kasenda. Sukarno Muda, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Hal: 62.
[20] Di unduh dari http://rosodaras.wordpress.com/2010/07/15/sulitnya-melawan-bangsa-sendiri/
[21] Di kutib dari tulisan Ahmad Vidai yang berjudul “Marhaenisme”. Hal 3.
[22] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar