Selasa, 10 Februari 2015

BALIBO, Cerita Kelam Timor Leste

(Tulisan dimuat dalam buletin MAHONI-LPM Nawaksara FH Unair edisi September 2012) 


ilustrasi gambar diambil dari http://moviespictures.org/movie/Balibo_2009
Semuanya menjadi terkejut saat adegan film menggambarkan seorang sosok bertopi khas dan bersenjatakan pistol, menembak seorang jurnalis berkebangsaan Australia. Meskipun jurnalis tadi telah menyerah dengan mengangkat tangan dan menyerukan, "I'm a jurnalis, don't shoot," kepada sosok tadi, segera seonggok peluru dari pistolnya telah bersarang pada kepala sang jurnalis. Dengan senyuman khas A smiling General-nya, semua peserta Kajian Film dan Diskusi BALIBO LPM NAWAKSARA FH UA langsung menyadari bahwa sosok Suharto-lah yang sedang digambarkan oleh sang sutradara, Robert Connolly. Itu tadi adalah salah satu adegan kontroversial yang menyebabkan film BALIBO ini dilarang oleh Pemerintah Indonesia.

Penggambaran aksi pembunuhan wartawan Australia yang juga menunjukan cuplikan dari seorang yang dapat dinterpretasikan sebagai Presiden Suharto.

Film berdurasi sepanjang 111 menit ini mengadaptasi cerita dari buku berjudul Cover-up karya Jill Jolliffe. Berlatar tahun 1975, feature film ini bercerita tentang tragedi tewasnya lima jurnalis berkewarganegaraan Australia di kota Balibo, Timor Leste yang disebut dengan julukan Balibo V. Roger East (Anthony Lapaglia) seorang wartawan Australia yang diminta oleh Jose Ramos Horta (Oscar Isaac) yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri East Timor, untuk memimpin semacam Kantor Pers Negara di Dili. Meskipun awalnya menolak, mantan tentara Angkatan Laut Australia ini lalu menyetujui tawaran itu setelah mendengar tentang Balibo Five. Dengan motivasi untuk mencari keadilan bagi ke-lima jurnalis yang saat itu dikabarkan menghilang, Roger East segera berangkat menuju Dili dari Darwin bersama Jose sesaat sebelum larangan terbang ke Dili diberlakukan oleh Pemerintah Australia.

Waktu itu Dili dikuasai oleh Fretilin, organisasi politik yang didirikan oleh Jose Ramos Horta yang telah mendeklarasikan revolusi kemerdekaan Negara East Timor pada 28 November 1975. Organisasi yang juga memiliki milisi bersenjata itu tengah bersiap untuk menghadapi invasi militer dari Indonesia. Digambarkan kapal-kapal perang Indonesia telah memenuhi Laut Banda dan hanya dalam hitungan hari. Invasi akan dilakukan dengan kota Balibo yang nota bene dekat dengan perbatasan sebagai awal kampanye bersenjata. Roger East memaksa Jose Ramos Horta untuk mengantarnya ke Balibo guna menyelidiki jejak ke-lima jurnalis tadi yang telah berangkat sekitar 2 minggu sebelumnya. Alih-alih yang seharusnya Roger East menjalankan Kantor Pers Negara di Dili, Jose akhirnya setuju mengantarnya meskipun bahaya mengancam mengingat invasi militer Indonesia hanya tinggal menunggu hari. Film segera memutar perjalanan keduanya menuju Balibo dengan berjalan kaki karena jalan-jalan telah ditutup.

Setelah pemutaran film, acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipimpin oleh Joaquim Rohi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga, sebagai pembicara. Joaquim yang kebetulan juga seorang kelahiran Timor Leste, menceritakan bagaimana invasi militer Indonesia atas Timor Leste adalah bagian dari Perang Dingin yang waktu itu tengah berkecamuk di dunia. Isu-isu pemerintahan komunis yang diusung oleh Fretilin, dijadikan semacam propaganda politik bagi invasi militer Indonesia. "Kita sama-sama mengetahui bahwa arah politik luar negeri Indonesia agak condong ke barat dan revolusi kemerdekaan di Timor Leste yang dianggap berhaluan kiri adalah sebuah ancaman bagi Kapitalisme," ungkapnya.

Diskusi yang dilangsungkan pada Jumat, 18 November 2011 ini, dilanjutkan oleh Joaquim yang menuturkan bagaimana langkah-langkah strategis militer yang dibuat oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. "Politik pemecah belah dibuat oleh ABRI, dengan politik beras dan jagung. Satu pulau Timor yang pada awalnya makanan pokoknya adalah jagung, dibuat berbeda antara Timor Barat dan Timor Timur," tandasnya. Tambahnya lagi, "Jadi dengan Timor Barat yang makan nasi berbeda dengan Timor Timur yang makan jagung dan diperkuat dengan perbedaan bahasa yang juga disengaja oleh pemerintah, hilanglah rasa persaudaraan antar keduanya. Dan jauh sebelum kampanye militer dilancarkan, terbentuk semacam sekat diantara keduanya dan berkembang menjadi pembiaran secara tidak langsung atas praktek invasi militer di Timor Timur."

Sekarang Timor Leste telah memperoleh kemerdekaannya dan telah menjadi negara berdaulat yang telah mengalami tiga kali pergantian kekuasaan secara damai. Ramos Horta menjadi Presiden ke-2 Democratic Republic of Timor Leste yang sebelumnya ia bersama Uskup Carlos Felipe Ximenes Belo dianugerahi Nobel Perdamaian pada tahun 1996 atas usaha memerdekakan negaranya. (Edwin Gore)




Gambar menunjukkan detik-detik dimana Kopassus melakukan invasi di Timor Leste dengan berlatar belakang bendera Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar