Rabu, 11 Februari 2015

Perkembangan Masyarakat Dihadapkan pada Positivisme Hukum dan Pluralisme Hukum

Oleh: Edwin Gore


Hukum tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial masyarakatnya. Hal ini ditunjukan Marcus Tullius Cicero, filsuf Romawi (106-43 s.M.)[1] dalam ungkapanya yang terkenal, yaitu ubi societas, ibi ius[2]. Di dalam setiap keteraturan sosial selalu ada hukum, tentu tidak mengatakan bahwa hukum yang dimaksud adalah hanya hukum negara. Masyarakat sudah lebih dulu ada jauh sebelum negara dan hukum negara ada atau bahkan mulai dipikirkan, dan kebutuhan akan hukum untuk menjaga keteraturan sosial tersebut, sudah setua peradaban manusia itu sendiri.

Bahkan dalam masyarakat yang oleh beberapa kalangan dikategorikan sebagai masyarakat terasing, tidak lantas membuatnya “bebas” jika dibandingkan dengan masyarakat yang lalu sebaliknya dikategorikan sebagai masyarakat modern. Sidney Hartland menjelaskan hal ini dengan mengkritisi pandangan J.J. Rousseau tentang masyarakat terasing dalam bukunya yang berjudul Primitive Law:
Warga suku terasing itu sama sekali bukan mahkluk bebas dan tidak terikat seperti khayalan Rousseau. Sebaliknya, dari segala penjuru ia terhimpit oleh adat kebiasaan sukunya; ia terikat oleh belenggu tradisi zaman baheula, tidak hanya dalam hubungan-hubungan sosialnya, akan tetapi juga dalam agamanya dalam obat-obatannya, dalam kerajinannya, seninya: pendek kata dalam setiap aspek kehidupannya.[3]
Masyarakat terasing terlihat tidak sesederhana yang dianggap oleh masyarakat yang mengkategorikan diri sebagai masyarakat yang modern. Kompleksitas yang menaungi masyarakat terasing adalah salah satu aspek paling penting yang menyebabkan masyarakat terasing bisa bertahan dalam lingkungan hidupnya. Anggota suku terasing tidak hanya dijadikan model warga masyarakat yang taat kepada hukum, akan tetapi menjadi aksiomalah bahwa dalam menaati semua peraturan dan ikatan itu ia mengikuti naluri alamiah perasaannya yang spontan.[4]

Selanjutnya, dikarenakan kondisi geografis, masyarakat berkembang secara berbeda satu sama lain. Hal ini ditunjukan secara sempurna pada kondisi masyarakat di wilayah yang saat ini disebut sebagai Indonesia. Kondisi geografis wilayah ini yang terdiri dari pulau-pulau, membuat suatu isolasi alam yang menghasilkan masyarakat yang sangat plural. Masyarakat ini mengembangkan bahasa, pengetahuan, kesenian, moral, dan kepercayaan yang berbeda-beda satu dan yang lainnya. Masyarakat tadi tentu membutuhkan keteraturan sosial dalam hidup bersama dan oleh karenanya menetapkan hukum yang ditaati. Konsekuensi logisnya adalah hukum yang ada di wilayah Indonesia waktu itu juga bersifat plural antar satu dan yang lain. Bahkan sebelum tahun 1848, VOC tidak pernah merumuskan suatu politik hukum yang sadar dan tertentu, melainkan dibiarkannya bangsa Indonesia hidup di bawah hukum-hukumnya sendiri.[5] Pluralisme hukum yang berlaku di wilayah Indonesia ini dimulai jauh sebelum konsep negara dipenetrasikan oleh pemerintah kolonial.

Thesis yang menyatakan hukum adalah hukum negara (state law) saja, telah mulai diragukan dengan pemaparan di atas. Hal ini diperkuat oleh Malinowski yang menyatakan bahwa masyarakat yang bukan dalam bentuk negara atau non state societies pun memiliki hukumnya sendiri.[6] Non state societies sendiri agaknya perlu dihadapkan dengan argumen bahwa hampir tidak ada lagi masyarakat tanpa negara atau stateless societies.[7] Meskipun secara mudah argumen tersebut dapat langsung dihadapkan oleh data yang dicatat oleh United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) bahwa ada 10 juta orang di seluruh dunia yang tidak memiliki kewarganegaraan[8]. Selain juga munculnya pertanyaan akan status kewarganegaraan penduduk di wilayah kasus sengketa pengakuan negara[9] seperti Palestina, Tibet, dan ekses revolusi Arab Spring yang berdampak dan belum terselesaikan. Non state societies tersebut tetap membutuhkan hukum untuk menjaga keteraturan sosialnya, meskipun itu bukan hukum negara.

Keberadaan Non state societies sesungguhnya bukan saja pada masyarakat yang tanpa negara atau stateless societies, tetapi juga dalam masyarakat yang bernegara. Individu-individu dalam sebuah negara tadi menggabungkan diri dalam sebuah societies yang mematuhi hukumnya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan hukum negara. Hal ini dipengaruhi oleh keinginan menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.[10] Lalu argumen selajutnya adalah dapat menghadapkan gagasan “hukum yang adalah hukum negara saja” pada kondisi di mana bahkan di sebuah negara banyak ditemukan masyarakat yang memiliki legal order di luar legal order dari negara. Brian Tamanaha secara cukup detail menjabarkan tentang hal ini:
Legal pluralism is everywhere. There is, in every social arena one examines, a seeming multiplicity of legal orders, from the lowest local level to the most expansive global level. There are village, town, or municipal laws of various types; there are state, district or regional laws of various types; there are national, transnational and international laws of various types. In addition to these familiar bodies of law, in many societies there are more exotic forms of law, like customary law, indigenous law, religious law, or law connected to distinct ethnic or cultural groups within a society. There is also an evident increase in quasi-legal activities, from private policing and judging, to privately run prisons, to the ongoing creation of the new lex mercatoria, a body of transnational commercial law that is almost entirely the product of private law-making activities.[11]
Berdasarkan pandangan Tamanaha di atas terlihatlah dengan jelas banyaknya legal order yang ada dalam masyarakat. Hukum negara terlihat jelas bukan menjadi satu-satunya hukum yang ada dan dibutuhkan masyarakat dalam memenuhi rasa keadilannya.

Tentu jika dihadapkan dengan pandangan positivisme hukum, perbedaan akan banyak sekali ditemui bahkan sejak semula mendefinisikan apa itu hukum. John Austin (1790-1859), yang dipandang sebagai pendiri dari aliran positivisme hukum[12], mengatakan bahwa, “laws proper or properly so called, are commands: laws which are not commands, are laws improper or improperly so called.”[13] Hukum hanya dipandang sebagai perintah penguasa. Penguasalah yang berhak menetapkan hukum apa yang berlaku mengikat suatu masyarakat. Di luar hukum perintah penguasa tersebut bukanlah merupakan hukum. Hukum-hukum yang disebutkan oleh Tamanaha di atas, bagi Austin secara mudah dikatakan adalah bukan merupakan hukum.

Hukum negara dan hukum perintah penguasa ini memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitannya ada di aspek formalitasnya. Semua yang disebut hukum harus melewati proses birokrasi kekuasaan, sehingga pendekatan hukum didekati dengan kaca mata sangat formal.[14] Proses birokrasi penyelenggaraan negara diserahkan pada penguasa yang dianggap telah diberikan kekuasaan untuk memerintah, menetapkan hukum, dan mengadili yang oleh Montesquieu kekuasaan penyelenggaraan negara tersebut harus dibagi dalam teori Trias Politica[15] (eksekutif, legislatif, dan yudisiil), dikarenakan kekuasaan penguasa dalam menyelenggarakan negara sangatlah rawan untuk disalahgunakan. Selanjutnya hubungan antara 3 pemilik kekuasaan tadi memerlukan birokrasi dalam berhubungan satu dan yang lainnya dalam cakupan formal kelembagaan negara. Aspek formalitas di sini sangat kuat dan menjadi pembeda utama antara hukum dan bukan hukum. Konsekuensinya, apabila aturan itu tumbuh dan berkembang tetapi tidak diimplementasikan oleh suatu kekuasaan yang bersifat “formal”, aturan itu tidak dapat disebut hukum.[16] Termasuk bahwa hukum yang berlaku di wilayah Indonesia sebelum pemerintah kolonial masuk ke Indonesia adalah bukan hukum.[17] Hukum akhirnya menjadi formalistis.[18]

Aspek formalitas hukum dari Austin ini tidak menyebutkan apakah hukum itu baik atau buruk. Jadi hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan hukum dan hukum tidak didasarkan atas cita yang baik dan buruk melainkan atas kekuasaan dari pada penguasa yang lebih tinggi.[19] Pengesampingan aspek baik dan buruk dalam pandangan positivisme hukum Austin langsung terlihat akibatnya pada masa-masa Perang Dunia ke-2. Awalnya ditandai dengan paham ultranasionalisme dan totalitarian rezim diktator gaya baru yang mulai bermunculan pada bangsa-bangsa di Eropa. Hitler berkuasa di Jerman, Mussolini di Italia, Stalin di Uni Soviet, dan juga mulai menyentuh benua Asia seperti di Jepang. Rezim totaliter gaya baru ini, oleh Mckay, Hill, dan Buckler dikatakan bahwa, “The modern totalitarian state differed from the old-fashioned authoritarian state. Completely rejecting liberal values and drawing on the experience of total war, the totalitarian state exercised much greater control over the masses, and mobilized them for constant action.”[20]

Mengambil contoh di Jerman, setelah Nazi menjadi partai pemenang pemilu dengan perolehan 14,5 juta suara pada tahun 1932[21] dan Hitler dipilih sebagai Kanselir oleh Presiden Hindenburg pada tahun 1933[22], dimulailah proses penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan. Pemerintah Jerman waktu itu, mengeluarkan peraturan-peraturan hukum dalam bayang-bayang kekuasaan Hitler dan Nazi. Dictatorial Emergency Acts menghapuskan kemerdekaan berbicara, berkumpul, dan banyak kemerdekaan individu lainnya.[23] Pada 23 Maret 1933, Nazi berhasil mendesak Reichstag untuk mengeluarkan Enabling Act yang memungkinkan Hitler memperoleh kekuasaan diktatorial selama 4 tahun.[24] Lewat undang-undang ini, Hitler berhak membubarkan dan mengontrol segala bentuk organisasi independen di seluruh Jerman. Lewat Nuremberg Law for the Protection of German Blood and German Honor yang dikeluarkan pada 15 September 1935[25], negara mengatur tentang pemurnian darah dan kehormatan Negara Jerman. Undang-undang ini melarang perkawinan antara orang yang memliki darah Jerman yang murni dengan orang Yahudi. Juga dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa, Jews are forbidden to fly the Reich or National flag or to display the Reich colors.[26] Yang selanjutnya oleh Ian Kershaw dikatakan bahwa Hitler akan mengambil alih "Jewish problem" ini di bawah hukum Nazi dalam “A Final Solution” untuk bangsa Yahudi.[27] A Final Solution atau Endlösung menjadi penghalusan makna dari usaha pemusnahan masal dari bangsa Yahudi.

Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah Jerman waktu itu jika menurut pandangan positivisme Austin adalah sah sebagai hukum karena secara formal dan positif hukum itu sudah memenuhi. Apakah karena hukum positif tersebut menyebabkan pemusnahan terstruktur[28] besar-besaran atas suatu bangsa dalam sepanjang sejarah manusia, adalah bukan menjadi soal dalam pandangan positivisme Austin. Tentu hal ini menimbulkan kritik yang cukup serius atas pandangan positivisme Austin. Hukum bukan hanya terikat pada aspek formal saja, tetapi terdapat suatu aspek lain juga, yang menurut Hart, dapat disebut aspek intern[29]. Bahkan aspek intern dalam hukum lebih penting dari aspek formalnya. Hukum yang sah secara formal dan melalui proses-proses birokrasi yang formal juga, tetapi melegalkan kejahatan kemanusian terstruktur, apakah harus tetap ditaati? Ditambah lagi menurut pandangan Hans Kelsen yang juga seorang positivis, mengatakan bahwa ciri hukum adalah sebagai tatanan pemaksa[30], yang lebih lanjut memaksa seseorang untuk melakukan kejahatan kemanusian, apakah juga harus tetap ditaati?

Meskipun oleh Hart, hal ini dibantah dengan menyatakan bahwa isi hukum positif harus diturunkan dari prinsip-prinsip moral dan keadilan[31], tetapi ia tidak dapat keluar dari belenggu positivisme karena ia tetap berpegang pada pendirian bahwa hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat secara formal dan dilengkapi dengan sanksi.[32] Secara konsekuen Hart membela bahwa tata hukum Nazi Jerman memang berlaku sebagai hukum, walaupun tidak boleh ditaati karena tidak cocok dengan prinsip-prinsip moral.[33] Tentu pandangan Hart ini masih menyisahkan persoalan terminologi antara berlaku sebagai hukum dan tidak boleh ditaati. Hal yang patut dikritisi di sini adalah bahwa aturan yang berlaku sebagai hukum memiliki aspek ketaatan di dalamnya, karena jika ada aturan hukum yang tidak memiliki kewajiban untuk ditaati, maka hal itu tidak berlaku sebagai hukum.

Hart tidak menjawab mengapa masyarakat taat hukum, tetapi hanya menjawab bagaimana masyarakat taat hukum.[34] Meskipun Joshep Raz tidak menyetujui pandangan Hart bahwa hukum harus sesuai dengan prinsip-prinsip moral[35], senada dengan Hart, Raz mengatakan bahwa the rule of recognition is better seen as a fact than as a rule.[36] Secara umum pandangan positivisme hukum tidak  menyangkal bahwa aturan-aturan hukum yang dibuat oleh Nazi Jerman adalah sah, karena ia telah melalui proses formal yang sah sebagai hukum positif negara sebagai satu-satunya hukum yang berlaku, meskipun tidak sesuai prinsip kemanusiaan dan keadilan.

Keraguan atas argumentasi hukum adalah hanya hukum positif negara seperti pandangan positivisme hukum di atas dapat dikaji lebih jauh dengan melihat posisinya dengan hukum internasional. Pandangan Austin yang mendaraskan adanya hukum pada badan yang memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk memaksakan berlakunya hukum kepada pihak yang dikuasainya,[37] sudah banyak ditinggalkan oleh ahli-ahli hukum internasional.[38] Badan yang memiliki kekuasaan untuk memberlakukan hukum ini disebut badan supra nasional. Hukum dalam pengertian ini merupakan penyangkalan atas eksistensi hukum yang berasal atau tumbuh dalam pergaulan hidup masyarakat, seperti misalnya hukum kebiasaan (customary law).[39]

Menurut Mochtar Kusumaatmadja semua kelemahan kelembagaan (institusional) ini telah menyebabkan beberapa pemikir mulai dari Hobbes dan Spinoza hingga Austin menyangkal sifat mengikat hukum internasional, dan menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum dalam arti sebenarnya.[40] Tentu pernyataan tadi yang juga sudah lama tidak memiliki tempat di dalam perkembangan hukum internasional, tetapi yang lebih penting adalah bahwa hukum internasional adalah hukum yang sangat penting dan di taati oleh negara berdaulat. Negara berdaulat yang sekarang bahkan bukan satu-satunya subjek hukum internasional, tetap memiliki hukum berdaulatnya sendiri-sendiri yang mengikat, tetapi di lain sisi patuh juga pada hukum  international. Pengakuan dan patuhnya negara akan hukum internasional seperti ini tentu tidak bisa terjadi jika hukum internasional itu hanya memiliki kekuatan mengikat seperti norma internasional saja.[41] Hal ini terlihat bahwa dalam skala yang lebih global, pluralisme hukum adalah suatu keniscayaan. Dengan kerangka berpikir yang sama tetapi dalam skala yang lebih kecil, pluralisme hukum juga adalah keniscayaan dalam masyarakat.

Dalam masyarakat mencakup juga masyarakat dalam sebuah negara, perkembangan masyarakat menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Menurut Ankie M. Hoogvelt seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto mengatakan bahwa tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat.[42] Aspek utama yang mempengaruhi perubahan dalam masyarakat adalah interaksi sosial dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.[43] Lebih lanjut Soerjono menjelaskan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun atara orang perorangan dengan kelompok manusia.[44] Dikarenakan masyarakat terus melakukan interaksi sosial, maka kemungkinan terus terjadinya perkembangan masyarakat juga semakin besar.

Pada era post-modern ini, perkembangan masyarakat akibat interaksi sosial menuju ke arah seragam menjadi hal yang sangat sulit terjadi. Kemungkinan untuk menuju ke keseragaman selalu ada. Tetapi dikarenakan proses interaksi sosial saat ini tak bisa dibendung kecepatan, cakupan, dan keberagamannya, membuat homogenitas agaknya sulit tercapai, meskipun sekali lagi bahwa kemungkinan itu tetap ada. Homogenitas ini oleh penganut post-modern yang memberikan pengaruh kuat pada mazhab critical legal studies, dibantah habis-habisan dengan memberikan thesis bahwa perbedaan merupakan inti dari segala kebenaran.[45] Meskipun mazhab ini masih menyisakan problematika, tetapi critical legal studies ingin mengatakan bahwa pluralitas adalah suatu kenyataan dan lebih dalam lagi pluralisme hukum akhirnya menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari.
 
Semakin plural suatu masyarakat, berakibat pada semakin plural permasalahan hukum yang dihadapi, dan semakin tinggi juga kebutuhan akan hukum untuk menyelesaikan masalah yang plural tersebut. Perkembangan masyarakat ini menyebabkan terjadinya jarak atau gap dengan negara yang tidak bisa dihindari. Untuk itu seperti yang diargumentasikan oleh Moore yang dikutip oleh John Griffiths, dikatakan bahwa the social space between the state and a subject is not a normative vacuum, but it is full of social institutions with their own regulation.[46] Lalu oleh Joeni Arianto dikatakan bahwa, gap ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, disebabkan oleh karena suatu produk hukum positif telah “ketinggalan jaman”.[47] Terjadinya kondisi di mana semula hukum positif yang mengakomodir nilai-nilai yang hidup di masyarakat, lalu karena perkembangan zaman, hukum positif tersebut tidak lagi mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kedua, memang sejak dari awal proses pembentukan hukum positif yang ada tidak memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.[48] Derajat perkembangan ini semakin meningkat kuat terlebih pada masyarakat yang memang sudah plural sejak semula. Seperti sudah disebut sebelumnya, Indonesia sekali lagi dapat digunakan sebagai contoh yang sangat baik dalam melihat hal ini. 
 

[1]Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1990, h.41
[2] “Wherever there is society, there is law.”A maxim meaning that law may be found in all forms of stable.., http://www.oxfordreference.com/view/10.1093/acref/97801953693 80.001.0001/acref-9780195369380-e-2028, dikunjungi pada tanggal 3 Desember 2014 pkl 11.30.
[3] Bronislaw Malinoswski, Crime and Custom in Savage Society, Routledge and Kegan Paul Ltd, England, 1951, terjemahan R.G. Soekadijo, Tertib Hukum dalam Masyarakat Terasing, Jakarta, 1988.  h. 4
[4] Ibid., h. 3
[5] Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, h.4
[6] Joeni Arianto Kurniawan, Legal Pluralism in Industrialized Indonesia: A Case Study on Land Conflict between Adat People, the Government, and Corporation Regarding to Industrialization in Middle Java. , VDM Verlag Dr. Müller, Saarbrücken, 2010, h.28
[7] Ibid., h.3.
[8] http://www.unhcr.org/pages/49c3646c155.html, dikunjungi pada 4 Desember 2014 pkl 12.21.
[9] Pengakuan sebagai sebuah negara masih terus diperjuangkan di dunia Internasional. Beberapa kalangan masih menyebutnya dengan nama belligerent karena enggan dengan penggunaan istilah negara.
[10] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.124
[11] Brian Z Tamanaha, Understanding Legal Pluralism: Past to Present, Local to Global, Sidney Law Review, Vol. 30:375, 5 July 2007,  h. 375. Diunduh dari http://sydney.edu.au/law/slr/slr30_ 3/Tamanaha.pdf , tangal 3 Desember 2014 pkl 9.15.
[12] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pernada Media Group, Jakarta. 2009. h. 5
[13] John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, London: John Murray, Albemarle Street. 1832.  h. vii. Diunduh dari http://www.koeblergerhard.de/Fontes/AustinJohnTheprovinceofjurisprudencedetermined1832.pdf , tangal 5 Desember 2014 pkl 9.30.
[14] Herlambang Perdana Wiratraman, Positivisme Hukum, disampaikan pada pengantar pendidikan hukum kritis HuMa-Alians iMasyarakat Adat Nusantara, juli 2010. Slide 8. Diunduh dari http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/herlambang-positivisme-hukum.pdf , tanggal 7 desember 2014 pkl 12.00
[15] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius. Yogyakarta,1982. h. 87.
[16] Peter, Op.Cit., h. 45
[17] Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum Barat pada waktu itu yang melihat masyarakat di luar Eropa adalah masyarakat yang tidak beradab baik dari teknologi sampai pada aspek perkembangan hukum.
[18] Herlambang, Op.Cit.
[19] Rudy T. Erwin, Tanya Jawab Filsafat Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. h. 37
[20] Jhon P. Mckay, Bennet D. Hill, and John Buckler, A History of Western Society Second Edition: From the Reformation to the Present, Houghton Mifflin Company, Boston, Massachusetts, 1983. h. 1024
[21] Ibid, h. 1043
[22] Ibid, h. 1046
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ilona Dvořakova, Kristyna Homolova, Jan Jachim, Monika Stehlikova,and  Aleš Turnovec, Classmates: the pates of jewish students who attended our school, gymnasium, mikulasske namesti, pilsen, Bily Slon, Plzeň, 2008. h. 11.
Diunduh dari http://www.deportal.cz/data/data/classmates.pdf , tanggal 10 desember 2014 pkl 10.00
[26] Ibid
[27] Ian Kershaw, Hitler 1889-1936: Hubris, Allen Lane: The Penguin Press, London, 1998. h. 570
[28] Michael Berenbaum, The world must know: the history of the Holocaust as told in the United States Holocaust Memorial Museum, United States Holocaust Memorial Museum, USA, 2005. h. 103.
[29] Theo, Op. Cit., h. 187
[30] Hans Kelsen, Pure Legal Theory, Berkeley University of California Press, USA, 1978, terjemahan Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Normatif, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2014.  h. 37
[31] Robert S. Summers, Professor H.L.A. Hart’s Concept of Law, Duke Law Journal 629-670, 1963. h.632. Diunduh dari http://scholarship.law.duke.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1879&context=dlj , tanggal 8 desember 2014 pkl 13.05
[32] Peter, Op.Cit., h. 66
[33] Theo, Op. Cit., h. 190
[34] Peter, Op.Cit., h. 69
[36] Peter, Op.Cit., h. 69-70
[37] Ibid. h. 19
[38] Dina Sunyowati, Enny Narwati, dan Lina Hastuti, Buku Ajar Hukum Internasonal, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, Surabaya, 2011. h. 20
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Soerjono Soekanto, Op.Cit., h. 343
[43] Ibid, h.67
[44] Ibid
[45] Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. h.3
[46] Joeni, Op. Cit., h. 31
[47] Joeni Arianto Kurniawan, Hukum Adat dan Problematika Hukum Indonesia, Majalah Hukum “Yuridika” FH Unair, Volume 23, No.1, 1 Januari-April 2008. h. 5-6. Diunduh dari http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/07/hukum-adat-dan-problematika-hukum-indonesia1.pdf, tangal 14 Desember 2014 pkl 10.30.
[48] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar