Kamis, 05 Februari 2015

Media Massa yang Bertoleransi



(Tulisan dimuat dalam buletin MAHONI-LPM Nawaksara FH Unair edisi September 2012)
“...seorang editor sebuah media, mengomentari sebuah kontes kecantikan secara sangat tidak biasa. Tidak biasanya adalah ia mengomentari kontes kecantikan tersebut dengan lelucon sarkasme yang mengumpamakan Nabi Muhamad pasti akan menikahi salah seorang dari kontestan jika beliau masih hidup. Tak lama berselang, kelompok umat Islam menyerang kelompok umat Kristiani yang merasa terprovokasi dengan lelucon Nabi Muhamad tersebut yang dianggap telah melecehkan agamanya.”(Nigeria)

“...siaran sebuah radio terus mengabarkan provokasi-provokasi yang sangat tidak biasa. Radio tersebut menyebarkan provokasi-provokasi membakar amarah yang ditujukan kepada suku Uttu. Tidak biasanya adalah provokasi tersebut berisi siaran-siaran yang mempengaruhi agar suku Uttu menyerang suku Tutsy yang dianggap lebih rendah dari suku Uttu. Tak membutuhkan waktu lama untuk terjadinya pengungsian besar-besaran dari negara tersebut yang sampai menyita perhatian dunia. Mereka masih beruntung karena tidak menjadi korban pembantaian masal yang dialami oleh suku Tutsy yang lain.”(Rwanda)

“...saut-bersautan dari tulisan dua kelompok wartawan ini sangat tidak biasa. Kelompok wartawan pertama menganggap dirinya penyebar kebenaran untuk  si-Kristen dan sebaliknya kelompok wartawan kedua menganggap dirinya sebagai penyebar  kebenaran untuk si-Islam. Yang tidak biasa adalah keduanya saling mengabarkan berita yang agak didramatisasi dan seringkali tidak berdasarkan fakta tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi atau mungkin terjadi dengan tidak jelasnya duduk persoalannya antara dua kelompok agama ini. Tak pelak hanya dalam hitungan minggu, terjadi peristiwa kemanusiaan berdarah yang telah merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa di antara kedua belah pihak yang saling bertikai ini. Bahkan sampai sekarang bekas-bekas ketegangannya masih menyelimuti pulau ini.” (Ambon, Indonesia)

M
edia masa adalah kebenaran semu pertama yang diterima oleh masyrakat. Namanya adalah kebenaran semu, kebenaran ini belum menjadi kebenaran yang hakiki atau kebenaran yang sesungguhnya. Inilah yang sering kali langsung dipercayai oleh para penggunanya bahwa kebenaran semu langsung menjadi kebenaran yang dianggap sesungguhnya tanpa ada proses penyaringan lebih dahulu. Akibatnya, informasi yang sudah dianggap benar ini menjadi pemicu seseorang untuk salah bertindak dan mengambil sikap. Jika kebenaran semu tersebut adalah tidak terbukti, bohong, atau fiktif (dan seringkali terjadi demikian), bisa di bayangkan akibatnya. Apalagi bila di dalamnya dimuati unsur-unsur agamis yang mengandung iman dan kepercayaan. Tampaknya peristiwa-peristiwa berdarah seperti di Nigeria dan yang terdekat, di Ambon, bukanlah merupakan sesuatu yang salah karena ada legitimasi agamanya di dalamnya.

Inilah yang mendasari Serikat Jurnalis untuk Kebebasan Beragama, untuk membuat suatu langkah pencegahan. Dengan sasaran lembaga pers mahasiswa di universitas di seluruh Indonesia, SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Kebebasan Beragama) berusaha mengkampanyekan tentang pentingnya peranan pers untuk mencegah peristiwa-peristiwa yang menyangkut kebebasan beragama, seperti Ahmadiyah dan Ambon terulang kembali. Lewat acara diskusi Intolerance in the Media di Universitas Sebelas Maret dan workshop A Guidance on Reporting Diversity Issues di Sahid Jaya Hotel, Solo pada tanggal 24-27 November 2011, SEJUK berupaya untuk menanamkan pada pers mahasiswa, termasuk LPM Nawaksara FH UA yang menjadi salah satu peserta, yang notabene masih bersih dari intervensi kekuasaan dan materi, semangat jurnalisme damai dan bukan jurnalisme ramai yang tetap menjunjung independensi, berimbang, dan tajam.

Hierarki Gender dalam Media: antara Agensi dan Komoditas oleh Dewi Candraningrum             
Mbak Dewi memulai materi pertama dengan sebuah pertanyaan yaitu ada berapa sih gender yang ada di dunia itu? Sebuah pertanyaan yang simpel, tetapi kadang tidak mudah untuk kita jawab. Mbak Dewi kemudian menerangkan bahwa sebenarnya gender sendiri pada umumnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tetapi ada kalanya kita menemui dalam kehidupan sehari seseorang yang tidak bisa diklasifikasikan dalam kedua gender di atas, yaitu sering disebut dengan kaum LGBT (Lebian, Gay, Biseksual, dan Transeksual). Di manakah mereka akan digolongkan? Mereka digolongkan dalam gender minoritas, yaitu bukan termasuk dari kedua gender mayoritas di atas.

Lalu apakah yang dimaksud dengan gender itu sendiri? Apakah gender sama dengan alat kelamin? Jika berbeda, apakah bedanya? Perempuan yang menempuh S2 dan S3 di Monash University Australia dan Universitaet Muenster Jerman ini menerangkan bahwa gender berbeda dengan alat kelamin. Gender adalah terkait dengan perilaku dan budaya, tetapi alat kelamin adalah terkait dengan bentuk fisik dan keadaan biologis. Keadaan biologis seorang perempuan contohnya adalah memiliki rahim sehingga dapat melahirkan. Berbeda dengan alat kelamin yang merupakan batasan yang dianugerahkan Tuhan, perilaku dibentuk dari pola kehidupan sejak kecil, contohnya lelaki itu tidak boleh menangis dan perempuan itu harus memakai rok.

Tetapi apakah seorang lelaki tidak boleh menangis dan perempuan tidak boleh memakai celana? Jawabannya adalah boleh. Kaharusan-keharusan ini hanya akan menyebabkan kekerasan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berkeluarga. Bayangkan, seorang perempuan yang katanya sesuai kodrat dan gender, yaitu adalah tipe lemah dan harus dilindungi setiap saat oleh laki-laki, setiap hari merengek-rengek pada sang suami jika ia sudah berumahtangga. Dan apa yang akan terjadi jika suaminya yang sesuai kodrat dan gendernya sedikit bicara dan menjaga terus kewibaannya menghadapi seorang istri yang merengek-rengek tersebut? Mbak Dewi melanjutkan, pukulan yang melayang dari suami kepada istri adalah akibatnya.

Memang yang demikian seringkali dianggap sebuah kewajaran. Karena jika seorang lelaki menangis dianggap dia itu banci dan wanita yang memakai celana adalah tomboy yang keduanya dianggap tidak sesuai kodratnya. Kalau kita berpikir demikian kita telah melakukan Stereotipi/Bias-gender/Seksis terhadap lelaki atau perempuan tersebut. Ia menerangkan, bahwa inilah yang sering terjadi di media masa-media masa dewasa ini, muali dari yang paling kecil skalanya sampai media masa yang berskala nasional. Lelaki atau perempuan kerap dijadikan objek kekerasan, baik kekerasan fisik, estetik, verbal, epistimologis, stereotipi, dan sebagainya. Dan hal inilah yang harus diperbaiki dari pers-pers dewasa ini, termasuk oleh pers mahasiswa.

Media dan Agama oleh Tantowi Anwari
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia tengah dalam keadaan sakit sosial yang parah. Tingkat kebencian sosial masyarakat Indonesia menurut beberapa peneliti telah menunjukkan ambang yang mengkhawatirkan. Frekuensi tawuran antar pelajar semakin taun menjadi semakin sering. Tingkat ignoritas dari para penyelenggara negara juga semakin memberanikan masyarakat untuk bertindak out of the law. Pembiaran-pembiaran oleh polisi salah satunya, menurut Sidney Jones, merupakan lampu hijau untuk memberanikan kaum-kaum pelanggar hukum untuk melakukan langkah yang lebih berani.

Begitu pula para kaum radikal yang mengklaim dengan agama-agama tertentu. Nampaknya ada kecenderungan untuk membiarkan dan bahkan sedikit mendukung atas aksi-aksi di luar hukum ini, oleh pejabat penegak hukum. “Lihat saja kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik oleh orang-orang yang mengklaim dirinya Islam!” ujar Alumnus IAIN ini. “Polisi sebenarnya sudah jauh-jauh hari mengetahui atas perencanaan penyerangan itu, tetapi sekali lagi mereka diam.” lanjutnya. Dan terangnya lagi, “Jangan kaget jika tingkat radikalisasi masyarakat Indonesia akan semakin parah dan mengkhawatirkan. Bahkan pemberitaan media masa atas hal ini sangatlah berat sebelah. “Menurut beberapa media cetak maupun televisi, disebutkan bahwa terjadi bentrokan antara warga dan jemaat Ahmadiyah, padal bukan bentrokan tetapi penyerangan!”

Bibit-bibit radikalisme dan kebencian atas perbedaan tersebut tambah diperparah oleh selebaran-selebaran radikal yang biasanya dibagikan pada waktu solat Jumat di masjid-masjid. “isinya bisa dibilang adalah sampah yang harus dibuang ke keranjang sampah. Selebaran itu bukannya berisi semangat perdamain malah semangat perang dan kebencian.” ujar pria yang bekerja di Lembaga Studi dan Filsafat tersebut. Bentuk dari media-media tersebut sudah pula sangat beragam. Mulai dari Website, Blog, video di You Tube, dan lain sebagainya. “Ada sekitar 6 lebih web atau blog yang perlu dikhawatirkan karena menyebarkan berita-berita yang tidak berimbang dan menimbulkan semangat radikal ini.” terangnya. Media-media itu antara lain adalah Sabili, Suara Islam, Voice of Al-Islam, Arahmah, Era Muslim, dan masih banyak lagi.



Apakah pembredelan merupakan jawaban? Tidak, mereka berhak dan sangat boleh untuk berbicara apapun tentang apapun. “Kita tidak dapat mengurangi dengan sedikitpun kebebasan mereka,” tambah mbak Dwi, “mereka sama sekali tidak menganggap manusia orang lain, mengapa kita melakukan hal yang sama?” Terangnya lagi, “dengan tidak memberikan kebebasan berpendapat mereka, kita sebenarnya telah melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan mereka.” Ungkapnya pula bahwa suatu saat pembaca akan sadar bahwa membaca blog sampah seperti itu akan tidak bermanfaat dibanding membaca media-media objektif lain yang memang menyuguhkan informasi yang baik.

Media dan Keberagaman oleh Muchlis A. Rofik
Menurut hasil survey Lembaga Survei Indonesia, tertanggal Juni 2011, 90 persen penduduk Indonesia menyatakan kepercayaan kepada Tuhan sebagai hal penting. Lalu 60 persen lagi menekankan pentingnya sebagai muslim dan 47 persen lagi mendahulukan status muslim daripada status orang Indonesia. Dan yang lebih mengejutkan lagi dari hasil survei oleh PPIM, 14,7 persen orang bersedia merusak gereja yang tidak memiliki ijin. Bersedia mengusir Ahmadiyah sebesar 28,7 persen, merajam orang berzinah sebesar 23,2 persen, perang melawan non-muslim yang mengancam sebesar 43,5 persen, menyerang tempat yang menjual miras sebesar 38,4 persen, mengancam orang yang menghina Islam 40,7 persen, dan sebesar 23,1 persen bersedia untuk jihad di Ambon dan Poso. Menurut data-data tersebut terang sudah bibit-bibit radikalisme telah mulai tumbuh subur di Indonesia

Bagaimanakah peran kita sebagai jurnalis dalam menghadapi hal tersebut? Menurut Mas Muchlis A. Rofik yang adalah Produser Eksekutif Liputan ANTV, kualitas para jurnalis dalam membuat berita-berita tentang isu-isu keagamaan sangat kurang sekali. “Pernah saya dimarahi habis-habisan oleh Nurcholis Majid tentang parahnya pengetahuan agama wartawan yang saya tugaskan untuk mewawancarai beliau.” tambah beliau. Ia juga menerangkan bahwa wartawan yang tidak berbekal pengetahauan agama yang cukup baik, malah akan memperkeruh permasalahan dengan pemberitaan yang salah. “Jadi memang pendalaman pengetahuan agama para jurnalis harus benar-benar diasah betul.”

Ia juga menjelaskan bahwa sekarang kita tengah dalam masa-masa perang media. Usama bin Laden mengatakan “Telah jelas bahwa perang media masa adalah salah satu metode perang terkuat, faktanya perang mediamasa mencakup 90 persen perang langsung.” Dan Ayman al-Zawahiri mengatakan bahwa lebih dari setengah bagian dari perang langsung tercakup perang media masa, kita ada di era perang media masa yang masuk dalam hati dan pikiran umat. Begitu berbahayanya media masa yang bisa dianggap sebagai pisau bermata dua, yang pada satu sisi bisa mensejahterakan manusia, di lain sisi bisa menyengsarakan manusia. Dan kita sebagai jurnalis harus pada tahap siap berperang dalam medan pertarungan ini. (Edwin Gore)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar