Kamis, 05 Februari 2015

Perlakuan Sosial terhadap LGW (Lesbian, Gay, Waria)


(ditulis bersama-sama dalam workshop Serikat Jurnalis untuk Keberagaman di Solo, 25-27 November 2011)
Manusia mendamba kehidupan normal, perlakuan yang sama baik dihadapan hukum, pemerintah, agama, politik, ekonomi, sosial, budaya dan sesama manusia. Tak membedakan apakah dia lesbi, gay, biseksual, transgender, interseksual dan queer (LGBTIQ). Perspektif yang berbeda terhadap golongan tersebut akan memberikan dampak yang tidak harmonis dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti apa yang dikatakan oleh Chyntia salah seorang waria yang menjadi narasumber pada workshop jurnalis kampus yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) pada 26 November 2011 di Hotel Sahid Jaya, Solo, ”seringkali mereka tidak ingin mengerti tentang apa yang sebenarnya saya rasakan. Saya juga ingin dianggap sebagai manusia seperti pada umunya.” Waria yang memiliki pasangan dan mengadopsi anak ini menambahkan, “Saya juga ingin diundang ke acara arisan, PKK, pengajian, dan sebagainya. Intinya saya juga ingin mendapat perlakuan yang sama, karena saya juga manusia seutuhnya sama seperti orang lain.”
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), menurut Andrew Fagan, “Hak asasi manusia adalah moral dasar, yang menjamin semua orang, just because they are human.” Kaum LGBTIQ termasuk warga negara Indonesia. Mereka pun harus dijamin kemerdekaannya untuk berekspresi. Hal itu sudah dilindungi oleh UUD 1945 khususnya pasal 28. Sudah Jelas ada payung hukum yang sah atas semua ini. Jadi jika sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya dengan nama Front Pembela Islam (FPI) atau siapapun kelomponya melakukan tindak kekerasan dan pemaksaan kepada anggota Himpunan Waria Solo (HIWASO) yang hanya ingin berekspresi lewat perlombaan voli, adalah jelas inkonstitusional. “Kami hanya ingin bermain voli tanpa ada niat buruk apapun. Ijin mulai dari RT/RW sampai Walikota Solo sudah kami dapat, tetapi dengan sewenang-wenang mereka membubar paksakan tanpa ada tindakan apapun dari pihak yang berwajib”, ungkap Chintia.
Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh polisi, menurut Sidney Jones, pemerhati kehidupan sosial di Indonesia, adalah semacam lampu hijau kepada tindak kekerasan yang lebih besar. Dan memang benar, tidak lama setelah aksi pembubaran paksa oleh FPI tersebut, tepatnya pada saat malam Idul Qurban lalu di Solo, terjadi tindak kekerasan yang lebih parah. Chintia sebagai ketua HIWASO, dipukul oleh salah seorang oknum FPI hingga luka parah. Chintia dipukul di bagian belakang kepalanya dan baju putih yang di pakainya berlumuran darah. Sampai sekarang kenangan lukanya masih membekas dan baju yang berlumuran darah baru dibuang beberapa minggu yang lalu. Jika hal semacam ini terus dibiarkan, maka UUD 1945 secara langsung maupun tidak langsung dilecehkan, karena tidak ada perlindungan oleh negara kepada warganya untuk berekspresi, jaminan akan kehidupan yang aman, bebas dari ancaman, dan tindak kekerasan.
Tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Londo dan Yuwono aktivis GESANK Solo yang juga adalah seorang Homoseksual. “Saat kami berkumpul dengan para sesama gay di Sriwedari Solo, FPI datang dan berusaha membubarkan kami secara paksa dan memukul beberapa anggota kami. Apa salah kami? Kami hanya berkumpul bersama dan tidak melalakukan kejahatan macam apapun.”jelas Londo. Tentu ini adalah sebuah perbuatan pelanggaran hukum. Pertama, FPI bukan pejabat berwenang yang mempresentasikan negara dalam melakukan aksi pembubaran. Kedua, apa yang salah dari berkumpulnya para gay tersebut, sehingga harus dibubarkan? Bukankah hak untuk berkumpul dilindungi oleh negara? Dalam pasal 24 ayat 1 Undang-Undang no 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia meyebutkan setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. Bagaimana dengan sikap aparat yang berwenang? “Kami sudah lapor polisi terkait aksi pembubaran dan tindak kekerasan ini, tapi tak ada yang menggubris.” lanjutnya. Sekali lagi pejabat berwenang telah melakukan pelanggaran HAM secara ommision atau dengan melakukan pembiaran terhadap terjadinya tidak pelanggaran HAM.
Kaum minoritas terutama kaum LGBT di Indonesia tidak hanya tidak mendapat perlindungan hukum dari negara, perspektif masyarakat luas yang tidak toleran terhadap mereka pun menambah penderitaan mereka. Londo mencontohkan “Aku sebenarnya terluka ketika masyarakat menjauhi dan megolok-olok aku. Kami juga punya perasaan!” Begitupula yang dialami oleh Chyntia lewat anak-anaknya. Anak Chintya sering mengalami kekerasan verbal dan psikologis dari lingkungan pergaulan di sekolahnya. Sebutan anak banci kerap di sasarkan kepada anaknya ini. Bayangkan apa yang sudah harus dibebankan pada anak yang masih usia kelas 5 SD ini? Bagaimanakah cara anak dalam usia ini harus menjelaskan kepada teman-temannya bahwa meskipun ibunya adalah seorang laki-laki sejatinya, tapi yang telah dilakukan ibu warianya untuk mengabdi pada keluarganya itu melampaui perempuan manapun di dunia ini? Chyntia harus kerja siang malam agar keluarganya itu dapat bertahan dari himpitan ekonomi. Sekarang bagaimana caranya agar anak  se-usia itu harus sudah mampu menjelaskan bahwa bukan bentuk fisiklah yang menentukan baik buruknya perbuatan seseorang apa lagi untuk merubah perspektif seseorang? Sangatlah tidak adil untuk kita memojokkan anak sekecil itu untuk sebuah perspektif egois dan bias gender ini. Mereka sudah sangat dirugikan dengan by commision dan by ommision terkait dengan pelanggaran HAM. Apakah kita tetap akan menambah penderitaan mereka lagi dengan melakukan kekerasan psikologis, verbal, dan sigmastisasi terhadap mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar