Senin, 09 Februari 2015

Masih Pentingkah Kita Berbeda?

(Tulisan dimuat dalam buletin MAHONI-LPM Nawaksara FH Unair edisi September 2012) 

ilustrasi gambar gambar diambil dari http://bubble-pinkz.blogspot.com/2011/04/tanda-tanya.html

Pertanyaan tersebut tertulis pada cover film Tanda Tanya, film yang menjadi bahan Kajian dan Diskusi Lembaga Pers Mahasiswa NAWAKSARA FH UA pada Jumat, 16 Maret 2012. Agak menggelitik memang karena kita sama-sama mengetahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bahkan dalam Lambang Negara Indonesia, hal tersebut dengan sangat jelas dituliskan dengan ungkapan Bhineka Tunggal Ika. Jadi agak aneh memang jika Hanung Bramantyo menanyakan kembali urgensitas perbedaan yang terang adalah kenyataan bangsa. Tapi jika kita melihat perkembangan kehidupan sosial masyarakat dewasa ini, nampaknya pertanyaan tersebut masih sulit untuk kita cari jawabnya.

Hanung menyajikan perbedaan dalam bentuk yang paling nyata. Berlatar tempat di daerah Pasar Baru Semarang, Jawa Tengah, keberagaman dilihat dalam sudut yang lain. Dinamika kehidupan masyarakat dengan berbagai latar belakang agama, suku dan jenjang sosial yang hidup "bertetangga" menjadi ide utama film berdurasi 100 menit ini. Dengan dialog-dialog yang kuat antar pemain dan sinematografi yang cukup memikat, menjadikan film ini secara keseluruhan baik, meskipun tidak menonjolkan kualitas akting tokoh utamanya. Terbukti dalam Festival Film Indonesia yang diadakan Desember 2011 lalu, Tanda Tanya menang dalam kategori Pengarah Sinematografi Terbaik, setelah dinominasikan dalam 8 kategori yang berbeda.

Tema yang dipilih oleh sutradara film Sang Pencerah ini memang sangat berani. Di tengah goncangnya kehidupan kerukunan umat beragama di Indonesia, isu yang dipilih langsung menyentuh sensitifitas masalah. Tak pelak film ini mendapatkan berbagai komentar keras dari berbagai pihak. Penayangannya di bioskop tanah air yang hanya seumur jagung, mampu mencetak penjualan tiket yang cukup berhasil. Belum cukup di bioskop, hak penayangan di layar kaca yang sudah didapat oleh sebuah stasiun televisi nasional harus dibatalakan dari desakan salah satu ormas keagamaan.

Bukan tanpa alasan LPM Nawaksara memilih film ini untuk menjadi tema diskusi dan kajian yang diadakan pada Jumat, 16 Maret 2012 lalu. Johan Avie Pemimpin Redaksi LPM Nawaksara yang waktu itu menjadi pembicara dalam diskusi, menuturkan bahwa isu-isu kebangsaan dan identitas sebagai orang Indonesia semakin tidak populer. Ia mengungkapkan, "Lima puluh persen lebih orang Indonesia lebih dahulu menyebutkan identitasnya sebagai penganut agama tertentu. Dan hanya beberapa persen yang menyebutkan identitasnya sebagai orang Indonesia."

Kampanye-kampanye kesatuan, nasionalisme, dan kebangsaan terus dirong-rong dengan aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan suatu ajaran agama tertentu. Mengenai hal ini ia menerangkan, "Menurut sebuah penelitian, tingkat terendah dalam organisasi masyarakat keagamaan yang kerap melakukan aksi kekerasan tersebut memiliki prosentase terbesar dari presentase anggota seluruh organisasi. Dan setelah diteliti lebih lagi, mereka-mereka itu memiliki tingkat pendidikan rendah dan tidak memiliki kedudukan sosial yang signifikan dalam masyarakat." Lebih parah lagi, aksi-aksi kekerasan ini seperti dibiarkan oleh pihak-pihak yang berwenang seperti kepolisian.

Ancaman-ancaman massive dari pihak-pihak tersebut sudah berada dalam tahap mengkhawatirkan. Terlebih lagi dengan "bantuan" dari aparat berwenang dengan membiarkannya terjadi meskipun terang perbuatan tersebut melanggar hukum yang berlaku. "Perlu adanya usaha untuk mengkampanyekan isu-isu yang lebih bersifat nasionalisme dan kebangsaan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika," ujar pria yang sempat mengenyam pendidikan filsafat selama 2 semester di salah satu universitas swasta terkenal di Surabaya ini. (Edwin Gore)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar