Kamis, 05 Februari 2015

Hukum dan Korupsi di Indonesia



I
ndeks korupsi Indonesia sekarang ada dalam posisi yang tidak membanggagakan. Meskipun lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, posisi indeks persepsi korupsi Indonesia, menurut Transparency Internasional, berada satu kotak di peringkat 100 dari 182 negara yang disurvei, bersama Jibouti, Burkina Faso, Gabon, dan Madagaskar.[1] Ini merupakan permasalahan besar yang dihadapi bangsa ini karena kita telah merdeka selama 66 tahun. Jika dibandingkan dengan umur negara-negara sperti Malaysia, Singapura, dan bahkan Jepang yang harus membenahi diri dari depresi ekonomi dan krisis induced nuclear reaction[2] setelah di bom Atom oleh sekutu di Hirosima dan Nagasaki, yang lebih muda dari Indonesia, indeks persepsi korupsinya sangat jauh lebih baik. Untuk Singapura, meskipun Menteri Komunikasi dan Informasi dari Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring bersikeras agar Research In Motion (Perusahaan pemroduksi BlackBerry asal Kanada) membangun server di Indonesia[3], tetapi RIM malah memlih negeri yang  penghasilan kepala negaranya no.1 di dunia bahkan mengalahkan Amerika ini.

Meskipun Tifatul beralasan bahwa Indonesia adalah salah satu pengguna BlackBerry terbesar di dunia, tetapi tetap RIM tidak mengindahkannya dengan alasan kurangnya law protection bagi investor, birokrasi yang berbelit-belit, dan korupsi yang mebahana di Indonesia. Yang meskipun pengguna BlackBerry di Singapura dapat dipastikan tidak ada sekuku-hitamnya dengan pengguna BlackBerry di Indonesia, mengingat luas Singapura sendiri bahkan tidak lebih besar dari propinsi Jawa Timur, RIM tetap memilih Singapura sebagai pijakan server BB-nya (sapaan akrab untuk BlackBerry). Apalagi alasannya kalau bukan RIM lebih mempercayai iklim investasi Singapura dari pada di Indonesia yang notabene adalah salah satu konsumen terbesarnya.

Belum lagi Institusi Criminal Justice System Indonesia (Kepolisian, Kejaksaan, Pengacara, Kehakiman, dll) seperti dipermainkan oleh seorang mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Bermula dari penangkapan Mindo Rosalina Manulang, anak buahnya, dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games Palembang pada 21 April, Muhammad Nazaruddin terseret pelbagai perkara[4] (salah satunya kasus proyek pembangunan Rumah Sakit Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, yang disebut-sebut sempat membawa nama Rektor UNAIR diperiksa komisi antirasuah) dan melarikan diri dari Indonesia. Dalam pelariannya keliling dunia, sebelum ditangkap oleh Kepolisian Kolumbia di Cartagena yang kemudian diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi , Nazar (panggilan akrab Muhammad Nazaruddin) bernyanyi lewat situs jejaring sosial menyeret beberapa orang koleganya di Partai Demokrat, salah satunya Anas Urbaningrum. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR ini, disebut-sebut oleh Nazar melakukan politik uang atas terpilihnya ia sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Masih banyak contoh kasus-kasus hukum yang mencerminkan, betapa uniknya hukum di Indonesia ini. Misal saja kasus penghentian Penyidikan atas kasus dugaan suap yang menyeret para petinggi KPK, yaitu Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Alasan dihentikannya proses penyidikan kasus dugaan suap petinggi KPK tersebut adalah diberhentikan demi kepentingan umum. Kepentingan umum? Menurut aturan hukumnya, penghentian proses penyidikan hanya ada 3, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, dan dihentikan demi hukum[5]. Pun, dihentikan demi hukum hanya mencakup syarat : tersangka kasus tersebut meninggal (Pasal 77 KUHP), kasus tersebut sudah daluarsa (Pasal 78 KUHP), dan ne bis in idem[6] (Pasal 78 KUHP).

Tidak ada satu pasalpun dalam hukum positif di Indonesia, alasan kepentingan umum dijadikan dasar penghentian penyidikan. Kita semua pasti setuju bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam memberantas praktek korupsi di Indonesia, harus bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal tanpa ada intervensi dan pelemahan dari kekuatan apapun baik Eksekutif, Legislatif, Yudisiil, dan Media[7]. Tetapi bukan dengan pengada-adan hukum yang tidak ada, tetapi harus sesuai dengan tata hukum dan aturan perundang-udangan di Indonesia. Sarjana hukum (terutama fresh graduate) manapun di Indonesia pasti akan kelimpungan melihat anomali hukum ini yang dilakukan malahan oleh praktisi-praktisi hukum yang memiliki berbagai titel bersandingan dengan namanya. 

Bisa dibilang, hampir semua praktek pelanggaran hukum di Indonesia dilakukan oleh orang-orang yang tau hukum atau sarjana hukum. Kasus Gayus sang mafia pajak[8], lapas eksekutif ala Artalita Suryani, kasus bill out Century[9], dan baru-baru ini kasus kekerasan di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat[10], semua dilakukan oleh pejabat-pejabat yang seharusnya menegakkan hukum di Indonesia dan sebagian besar dari mereka adalah sarjana hukum.

Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral dan institusional yang besar dalam membentuk produk sarjana hukumnya. Apasajakah yang diajarkan di institusi pendidikan terutama perguruan tinggi di Indonesia kepada para calon sarjanannya sehingga mengasilkan produk-produk seperti Gayus Tambunan, Nazaruddin, dan para Gubernur dan Bupati sampai anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terseret dalam berbagai kasus korupsi? Jika melihat mahalnya biaya pendidikan di Indonesia (termasuk juga di UNAIR) dan pemusnahan kritisisme institusi pendidikan secara nyata maupun berkedok pemadatan mata kuliah-mata kuliah yang “laku di pasaran” diringi penghilangan secara perlahan-lahan mata kuliah yang tidak “laku” tapi kritis, tanpa membekali para calon sarjananya dengan kesadaran diri, ingenuitas, heroisme, dan kepedulian[11] misalnya, maka tak ayal produk-produk itulah outputnya. Dan lebih celakanya, merekalah yang menentukan masa depan dan memegang kemudi bangsa ini. (Edwin Gore)



[1] Majalah Tempo.  Jakarta : PT TEMPO INTI MEDIA Tbk, 8 Januari 2012. h: 15.
[2] Dalam bahasa Indonesia sama seperti imbas dari reaksi nuklir yang sangat berbahaya.
[3] Majalah Tempo.  Jakarta : PT TEMPO INTI MEDIA Tbk, 1 Januari 2012. h: 25.
[4] Ibid., h: 50.
[5] Didik Endro Purwoleksono. Diktat Hukum Acara Pidana untuk Mahasiswa UNAIR. Surabaya, 2011, h: 6.
[6] Ini adalah asas hukum yang menyebutkan secara garis besar bahwa tidak boleh seorang diperkarakan kembali atas perkara hukum yang sama, yang telah incraht atau berkekuatan hukum tetap.
[7] Media disebut-sebut sebagai pilar demokrasi baru. Karni Ilyas menyebutnya dalam iklan layanan salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia.
[8] Atas vonis Mahkamah Agung, ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
[9] Meskipun oleh DPR dana talangan Bank Century dianggap bermasalah, sampai saat ini kasus tersebut seperti dipeti-eskan oleh Pemerintah.
[10] Komnas HAM menyatakan ada pelanggaran HAM oleh Polisi di Bima terhadap masyarakat sipil. Penembakan warga sipil di Sape tidak sesuai dengan Prosedur Tetap Kepolisian.
[11] Chris Lowney. Heroic Leadership. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005, h: 32. Prinsip ini digunakan oleh Ignatius Loyola sebagai Pilar Inti dari Yesuit. Adalah sebuah konggergasi imam-imam Katolik atau lebih tepat disebut sebagai “Perusahaan” yang umurnya sudah lebih dari 450 tahun dan dianggap beberapa kalangan sebagai organisasi terbaik di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar