Kamis, 05 Februari 2015

Implementasi Ideologi GmnI dalam Advokasi



Implementasi Ideologi GmnI dalam Advokasi[1]

1. Apakah Ideologi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia itu?
Secara epistimologi, ideologi sendiri berasal dari kata idea yang berarti pikiran dan logos yang berarti ilmu.[2] Ide adalah sekumpulan ide atau gagasan yang dimiliki oleh seseorang. Logos adalah seperangkat ilmu yang di dalamnya terlengkapi dengan sitematisasi. Tujuan dari ideologi sendiri adalah untuk perubahan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Jadi ideologi adalah seperangkat ilmu yang mensistematisasi sekumpulan ide atau gagasan yang dimiliki oleh manusia untuk menuju perubahan ke arah yang lebih baik.

Apakah ideologi GmnI itu sendiri?  Apakah ideologi GmnI itu Marhaenisme?  Selanjutnya, bagaimanakah kedudukan Pancasila yang notabene adalah ideologi negara di dalam basis GmnI? Apakah Marhenisme itu sama dengan Pancasila? Ataukah keduanya malah saling saling paradoks? Akan lebih baik bila kita membahas Marhaenisme dan Pancasila, khususnya Pancasila 1 Juni, masing-masing terlebih dahulu.

1.1. Marhenisme
Isitilah Marhenisme sendiri disebarluaskan oleh Soekarno melalui pledoinya yang sangat terkenal yaitu Indonesia Menggugat. Marhenisme adalah jawaban dari kekurangan Marx dalam menyebutkan kaum tertindas.  Dalam menyebutkan kaum tertindas, Karl Marx menggunakan istilah proletar, yaitu kaum buruh upahan yang tertindas oleh tekanan dari kaum pemilik modal dan alat-alat produksi. [3] Lewat Marhaenisme Soekarno secara tajam menyorot ketidaklengkapan konsep proletar Marx dengan kondisi di Indonesia.

Menurut pandangan Soekarno, kondisi rakyat di Indonesia pada waktu itu tidak industrialis seperti apa yang terjadi di negara-negara Eropa. Bedanya adalah masa Marhaen terdiri dari tiga unsur yaitu unsur kaum proletar, unsur kaum tani melarat Indoesia, dan kaum melarat Indoesia yang lain.[4] Marhaen memiliki konsep yang lebih luas dari proletar dan menggambarkan apa yang terjadi dengan kondisi rakyat Indonesia. lebih-lebih istilah kaum Marhaen digambarkan oleh Soekarno dengan “Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat‐alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat‐alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri.”[5]

Untuk lebih lengkapnya mengenal Marhaenisme, berikut adalah sembilan tesis yang diperkenalkan Sukarno dalam kongres Partindo pada Juni 1933:[6]
a.       Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi.
b.      Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat Indonesia lainnya.
c.       Soekarno memakai perkataan Marhaen, bukannya proletar, karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen. Selain itu perkataan proletar itu juga bisa termasuk kaum tani dan kaum melarat lain yang yang tidak termaktub di dalamnya.
d.      Karena Soekarno berkeyakinan bahwa di dalam perjuangan kaum melarat Indonesia yang lain-lain harus menjadi elemen-elemennya, maka Soekarno memakai perkataan Marhaen itu.
e.      Di dalam perjuangan Marhaen itu, Soekarno berkeyakinan bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar.
f.        Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang dapat menyelamatkan Marhaen.
g.       Marhaenisme adalah cara perjuangan untuk mencapai susunan negeri yang demikian itu. Oleh karena itu, cara perjuangannya harus revolusioner.
h.      Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme.
i.         Marhaenis dalah setiap orang Indonesia yang menjalankan Marhaenisme.

Dari kutipan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
-          Marhaen
Setiap orang yang hidupnya menderita (lahir-batin dalam ekonomi-sosial-politik-budaya) karena penindasan. Yang mencakup kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat Indonesia lainnya.
-          Marhaenis
Setiap orang yang berjuang bersama kaum Marhaen dalam membebaskan diri dari setiap bentuk penindasan, untuk mewujudkan kehidupan yang marhaenistis. Termasuk di dalamnya adalah kita sebagai kader-kader GmnI.
-          Masyarakat Marhaenistis
Tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab, berdasarkan kesederajatan, dan kebersamaan yang bebas
dari segala bentuk penindasan.
-          Marhaenisme
Marhaenisme adalah azas yang menghendaki tatanan masyarakat yang dapat menyelamatkan kaum Marhaen dengan suatu cara perjuangan (progresif revolusioner)untuk mencapai susunan negeri yang demikian itu.
Ajaran ideologi yang merupakan ajaran Soekarno secara keseluruhan semua termaktub dalam Marhaenisme.[7]
Meskipun belum tersusun secara sistematis, tetapi di dalamnya akan ditemukan suatu alur yang konsisten, suatu ideologi yang membela rakyat dari penindasan dan pemerasan suatu sistem yang ada, guna membangun masyarakat adil-makmur dan beradab, bebas dari segala penindasan dan pemerasan.[8]
Ideologi tersebut memiliki 2 asas yaitu Sosio Nasionalisme yang adalah nasionalisme sosial bewust/sadar kaum Marhaen dan Sosio Demokrasi yang adalah demokrasi yang juga sosial beswust kaum Marhaen.
        
1.2. Pancasila
Pancasila sekarang yang ada dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah sejatinya berasal dari Pancasila 1 Juni menurut Soekarno yang disampaikan di dalam sidang BPUPKI.
-              Nasionalisme atau kebangsaan
-              Internasionalisme atau pri kemanusiaan
-              Mufakat atau demokrasi
-              Kesejahteraan
-              KeTuhanan

Dari ke-5 sila di atas dapat diperas menjadi trisila:
-              Sosio Nasionalisme-------------Kebangsaan Indonesia dan Nasionalisme
-              Sosio Demokrasi----------------Mufakat dan kesejahteraan sosial
-              KeTuhanan Yang Maha Esa—Haruslah tuntas di dalam diri setiap orang

Dari trisila tadi dapat diperas lagi menjadi ekasila, yaitu Gotong royong.[9] Gotong royong bukanlah sebuah paham yang semata-mata diciptakan oleh Soekarno. Tetapi Soekarno adalah orang pertama yang menggalinya. Menggali nilai-nilai yang sebenarnya telah hidup dan berkembang di Indonesia bahkan sejak masa Majahpahit. Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan.[10] Paham inilah yang dibutuhkan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab, berdasarkan kesederajatan, dan kebersamaan yang bebas dari segala bentuk penindasan untuk mencapai kehidupan yang damai sejahtera. Gotong royong harus tetap melekat di dalam setiap diri manusia Indonesia. menurut  Soekarno gotong royong adalah “...pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama!”[11]

Dengan demikian tidak perlu ada perdebatan lagi antara apakah ideologi GmnI itu Marhaenisme ataukah Pancasila. Karena sejatinya Marhaenisme dan Pancasila adalah saling melandasi. Meskipun lahirnya Marhaenisme lebih dulu daripada Pancasila, namun Marhaenisme dan Pancasila memiliki keterkaitan secara filosofis yang tidak dapat dipisahkan.


2. Bekal Seorang Kader GmnI dalam Mengimplementasikan Ideologi dalam Advokasi
Ideologi adalah salah satu dari 5 pancalogi GmnI, selain Revolusi, Organisasi, Studi, dan Integrasi, yang akan dibahas berikut ini.

Revolusi
Tantangan kader GmnI dalam memperjuangkan kaum Marhaen adalah tentu melawan sang penindas itu sendiri. Musuh kader GmnI selalu berkembang. Misalnya dari jaman pejajahan, dengan berawal Gold, Glory, Gospel yang hanya semata mencari kekayaan, berubah menjadi Kolonialisme dan Imperialisme. Kemudian berubah lagi dengan menanamkan pengaruh ke negara lain. Dan bentuk paling modern adalah bentuk penjajahan gaya baru, dimana kaum Marhaen sampai tidak menyadari bahwa dirinya sedang dijajah. Ya, ini adalah bentuk penindasa paling tinggi, dan lebih miris lagi bahwa bangsa sendiri yang melakukannya.

Ini adalah lahan kalau dapat dikatakan seperti itu, seorang Kader GmnI dalam melawan. Tentu jika tanpa bekal akan menjadi percuma. Bekal yang dimaksud adalah Revolusi. Revolusilah jawaban dari peninasan kaum Marhaen. Dengan bekal Marhaenisme sebagai ideologi, ideologi yang tidak berubah, seorang kader GmnI berjuang secara cepat, tepat, dan mendasar melawan bentuk penjajahan yang selalu berubah-ubah.

Organisasi
Dalam memperjuangkan kaum Marhaen, perjuangan orang-perorang adalah sebuah hal yang percuma. Seperti peribahasa sebatang lidi mudah dipatahkan, seikat lidi adalah mustahil. Begitupula dalam berjuang, perjuangan seorang kader adalah sangat mudah digagalkan, tetapi dengan kerjasama kader tentu bukanlah hal yang mustahil untuk merubah dunia. Seperti kata Soekarno, “Aku hanya butuh sepuluh orang pemuda untuk merubah dunia.” Tetapi sepuluh orang tanpa organisasi adalah percuma!

Studi
Jelas dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, subjek gerakan adalah mahasiswa yang adalah kaum terdidik dan terpelajar. Dalam tridharma perguruan tinggi pun, studi menempati tempat yang utama, yaitu dalam pendidikan dan penelitian. GmnI bukanlah organisasi masa yang biasa, GmnI adalah organisasi masa yang terdidik, tentu hal itu adalah sebuah keunggulan. Jadi sekali lagi studi adalah sangat penting untuk bekal seorang kader dalam menghadapi kaum penindas.

Integrasi
GmnI berjuang bersama rakyat, GmnI berjuang untuk rakyat. Itulah inti dari integrasi. Karena kader GmnI adalah seorang Marhaenis, yang berjuang bersama kaum Marhaen, maka perlu adanya integrasi antara Marhaenis dan kaum Marhaen. Tidaklah mungkin kaum Marhaen berjuang sendiri atau bahkan berlawanan dengan perjuangan kaum Marhaenis. Karena jika hal ini terjadi, maka sang penindaslah yang menang. Jadi Integrasi adalah modal yang perlu dimiliki oleh kader GmnI.


3. Bagaimanakah mengimplementasikan ideologi GmnI dalam Advokasi?
Seorang Marhaenis memerlukan suatu sistematisasi perjuangan dalam memperjuangkan kaum Marhaen. Karena lawan seorang marhaenis adalah para penindas yang dalam menindas membentuk suatu sistem. Sistem penindasan L’explotation de nation par nation (penindasan suatu bangsa terhadap bangsa lain) maupun L’aexplotation e I’homme par L’homme (penindasan manusia terhadap manusia lainnya).[12] Seringkali penindasan tersebut tidak terasa secara langsung. Tetapi secara halus dan pelan-pelan sehingga mengakibatkan ketidaksadaran kaum Marhaen bilamana dirinya ditindas. Ini adalah penindasan tingkat paling tinggi dan sangat berbahaya.

Oleh karena menghadapi penindasan gaya baru tersebut, perlu adanya cara berjuang kader GmnI yang dapat menjadi pegangan. Sistematisasi perjuangan tersebut ada dalam asaz perjuangan Marhaenisme, yang terdiri dari:

a.       Radikal Revolusioner
Sebuah gerakan melawan sistem penindasan terutama penindasan gaya baru, harus dilakukan dengan cara radikal revolusioner. Radikal yang berarti perjuangan kaum Marhaen harus mangakar kuat dalam diri kader GmnI sendiri sebelum melakukan perjuangan kaum Marhaen. Karena radikal berasal dari bahasa Lain radix, yang berarti akar pohon[13], jadi keinginan kuat kader GmnI untuk memperjuangkan kaum Marhaen tak boleh roboh atau tumbang.

Cara memperjuangkan kaum Marhaen tadi haruslah dilakukan secara Revolusioner. Pengertian revolusioner berbeda dari evolusioner, intinya perjuangan kaum Marhaen haruslah konkrit, tidak bertele-tele, cepat dan mendasar. Hal ini disebabkan kaum penindas tidak menunggu waktu dalam melakukan penindasan. Begitu juga dengan kaum Marhaen yang kelaparan sekarang. Apakah kita dapat sehari saja kelaparan tanpa minum tanpa makan? Begitupun kaum Marhaen, mereka tidak bisa menunggu waktu lagi untuk melawan rasa laparnya, melawan penindasan yang sangat tidak adil, bekerja keras siang-malam hanya untuk menguntungkan penindas mereka, dan sebagainya. Perjuangan harus dilakukan sekarang, detik ini juga tanpa menunggu. Radikal dalam penghayatannya dan revolusioner dalam implementasinya.

b.      Non-Kooperasi
Non-koopersi selalu ditunjukkan terhadap sistem yang melakukan pemerasan dan penindasan, terhadap sistem yang mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan itulah non-kooperasi diarahkan.[14] Non-kooperasi intinya adalah tidak mau bekerjasama dengan penindas, yang malah akan berdampak pada semakin buruknya keadaan kaum Marhaen. Sikap tidak mau berkompromi adalah juga salah satu contoh dari non-koopersi. Memang dalam memperjuangkan kaum Marhaen kadang kita dihadapkan pada masalah yang harus ditempuh dengan jalan kompromi, tetapi ingat, kompromi hanya perlu dilakukan jika posii antara kita dan lawan adalah sederajat. Jika posisi kita di bawah, maka kompromi hanyalah bentuk lain dari menyerah.

c.       Macthsvorming dan Machtsaanwending
Macthsvorming dan Machtsaanwending adalah penyusunan kekuaatan dan penggunaan kekuatan, tetapi kedua kata ini harus selalu diucapkan dan diartikan dalam satu tarikan nafas.[15] Macthvorming bukanlah sekedar penyusunan tenaga wadah saja, di dalamnya adalah juga penyusunan tenaga semangat, tenaga ruh, tenaga kemauna, tenaga nyawa.[16] Seperti kata Marx, “... Tak pernahlah suatu kelas melepaskan hak-haknya atas kemauan sendiri..”[17] Inilah yang menyebakan paradoks antara kaum Marhaen dan kaum penindas terjadi. Di satu sisi kaum penindas ingin mengeksploitasi sebanyak-banyaknya dari kaum Marhaen, bahkan proses ini kalau dimungkinkan tidak akan berhenti. Sebaliknya kaum Marhaen berusaha sekuat tenaga untuk dapat lepas dari cengkraman penindas. Untuk itulah urgensi perjuangan kita kaum Marhaenis untuk melawan dengan Macthsvorming dan Machtsaanwending tadi.

Soekarno mengartikan Macthsvorming sebagai “...Adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana menuruti kehendak kita. Paksaan ini perlu, paksaan ini adalah syarat yang pertama...”.[18] Penyusunan kekuatan adalah jalan “satu-satunya” untuk memperjuangkan kaum Marhaen yang tengah ditindas, tetapi ingat Macthsvorming dan Machtsaanwending selalu diucapkan dalam satu tarikan nafas dan tidak dapat dipisah. Sedangkan Machtsaanwending atau massa-aksi adalah “...Aksi rakyat jelata (kaum Marhaen dan Marhaenis), yang karena kesengsaraan, telah terluluh menjadi satu jiwa baru yang radikal dan bermaksud ‘memarajikan’ terlahirnya masyarakat baru...”.

Macthsvorming dan Machtsaanwending adalah gerakan radikal revolusioner yang dilakukan tanpa kooperasi dengan penindas yang ingin merubah tatanan masyarakat lama ke masyarakat baru (mewujudkan masyarakat marhaenistis). Macthsvorming dan Machtsaanwending dapat dilakukan dengan mendirikan perhimpunan, menulis artikel pada majalah dan surat kabar, mengadakan rapat-rapat umum, mengadakan kursus-kursus, dan demonstrasi.[19] Itu tadi adalah bentuk-bentuk pergerakan nasional jaman penjajahan. Sekarang, masa penjajahan gaya baru, penjajahan yang paling tinggi tingkatannya. Seperti kata Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri”[20]

d.      Self Help
Untuk menjaga konsistensi suatu gerakan, maka suatu gerakan tidak boleh menggantungkan diri kepada satu pihak, melainkan harus didukung oleh kekuatannya sendiri.[21] Makudnya adalah bahwa sebuah gerakan harus mandiri dan tidak bergantung pada siapapun apalagi pada kaum penindas.  Tetapi GmnI berjuang untuk kaum Marhaen, yang berarti bahwa GmnI memperjuangkan kepentingan-kepentingan kaum Marhaen untuk mentas dari penindasan. Kecuali untuk hal ini, GmnI tidak independen, yang artinya GmnI bertanggungjawab atas penindasan Kaum Marhaen.
GmnI adalah organisasi yang independen dan berwatak kerakyatan. Artinya, GmnI tidak berafiliasi pada kekuatan politik manapun, apalagi menjadi Underbow Partai Politik. GmnI berdaulat penuh dengan prinsip percaya pada kekuatan diri sendiri.

e.      Self Reliance
Dan dengan dasar Self Help, suatu gerakan akan memiliki self reliance (kepercayaan diri).[22] Ini sangat penting dalam subuah gerakan, apalagi gerakan mahasiswa yang notabene sering dipandang sebelah mata. Tanpa kepercayaan diri, perjuangan melawan kaum penindas pasti akan percuma. Kader GmnI harus percaya pada diri sendiri, karena modal bagi seorang kader GmnI pada hakikatnya adalah berasal dari dalam diri sendiri. Pada akhirnya gerakan yang paling terutama adalah berasal dari diri sendiri. (Edwin Gore)



[1] Ditulis oleh Edwin Gore, kader GmnI komisariat Hukum UNAIR untuk pengantar materi pada saat kaderisasi GmnI komisariat di Villa Trawas pada bulan Oktober 2011. Tetapi karena berbagai alasan materi ini tidak disajikan pada calon-calon kader GmnI pada saat itu.
[2] Berasal dari bahasa Latin dan pertama kali diperkenalkan oleh seorang filusuf Perancis bernama Antoine Destutt de Tracy (1754-1836)
[3] Diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Proletariat
[4] Dikutip dari tulisan “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat Hukum Unair” oleh Nyoman Yustisia Putro R. 21 November 2009. Hal: 13.
[5] Cindy Adams, 1977. Soekarno, Penyambung Lidah Rakjat Indonesia, Biography as told to Cindy Adams. Hal: 51.
[6] Sukarno, “Marhaen dan Proletar” dalam Fikiran Ra’jat, 1933, dimuat kembali dalam Di Bawah Bendera Revolusi I, hal 253-256.
[7] Di kutib dari tulisan Ahmad Vidai yang berjudul “Marhaenisme”. Hal 1.
[8] Ibid
[9] Dikutip dari tulisan “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat Hukum Unair” oleh Nyoman Yustisia Putro R. 21 November 2009. Hal: 14.
[10] ibid
[11] Sumber: Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945
[12] Di kutib dari tulisan Ahmad Vidai yang berjudul “Marhaenisme”. Hal 2.
[13] Di unduh dari http://kata-kata-hikmah2.blogspot.com/2010/05/pengertian-radikal.html
[14] Di kutib dari tulisan Ahmad Vidai yang berjudul “Marhaenisme”. Hal 3.
[15] ibid
[16] ibid
[17] Lihat halaman awal karya Karl Max dan Friederich Engels. Manifesto Partai Komunis. Jakarta:Yayasan Pembaharuan, 1959.
[18] Djuhartono dkk (ed), Wejangan Revolusi Karya Bung Karno, Jakarta: Yayasan Penyebar Pancasila, 1965. Hal: 21-22.
[19] Peter Kasenda. Sukarno Muda, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Hal: 62.
[20] Di unduh dari http://rosodaras.wordpress.com/2010/07/15/sulitnya-melawan-bangsa-sendiri/
[21] Di kutib dari tulisan Ahmad Vidai yang berjudul “Marhaenisme”. Hal 3.
[22] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar